My awesome top bar
My awesome top bar

Milenial sebagai Tulang Punggung Perekonomian

Perang dagang telah membuat pertumbuhan ekonomi global melambat. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 dan 2020 melambat masing-masing menjadi 2,9% (yoy) dan 3% (yoy) dari sebelumnya 3,2% (yoy) dan 3,4% (yoy). Perang dagang membuat kinerja perdagangan global makin merosot. Meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan global. Menghambat arus investasi dan menurunkan ekspansi manufaktur global.  

Tidak ada negara yang imun dari dampak perang dagang ini. Hampir semua negara mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, khususnya Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Sepanjang kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi AS turun menjadi 2,1% (yoy) dari kuartal I-2019 sebesar 3,2% (yoy). Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi Tiongkok di kuartal II-2019 turun menjadi 6,2% (yoy) dari kuartal I-2019 sebesar 6,3% (yoy).

Bukan itu saja, negara-negara yang memiliki ketidaksatabilan politik, memiliki eksposure yang besar terhadap perdagangan global, dan memiliki beban utang yang tinggi, pertumbuhan ekonominya makin cepat terdorong ke zona resesi, akibat dampak perang dagang ini. Saat ini, setidaknya ada lima negara yang sudah berada di tubir resesi ekonomi, yaitu Jerman, Inggris, Italia, Hong Kong, dan Singapura. Bahkan, ekonomi AS berpotensi besar mengalami resesi pada tahun 2020-2021, jika eskalasi perang dagang terus berlanjut.

Sinyal resesi itu terdeteksi dari inversi imbal hasil obligasi pemerintah AS yang sudah terjadi sejak awal tahun ini. Inversi imbal hasil selalu menjadi sinyal resesi ekonomi dalam lima puluh tahun terakhir. Terakhir kali inversi imbal hasil terjadi pada tahun 2007 atau setahun sebelum kasus subprime mortgage meledak.

Itulah sebabnya, untuk memperlambat laju resesi ini, The Fed melakukan pelonggaran moneter dengan memangkas suku bunga kebijakan (FFR) sebesar 50bps sejauh ini. Bahkan, menurut konsensus pasar, FFR ini masih berpotensi dipangkas lagi sekitar 25-50bps hingga akhir tahun. Meski begitu, sejumlah pakar menyatakan bahwa kebijakan The Fed ini tidak akan banyak membantu menghalangi gelombang resesi menerpa ekonomi AS, jika tidak ada kebijakan dalam mengurangi (menghentikan) perang dagang.

Ekonomi Indonesia

Perekonomian Indonesia juga tidak luput dari dampak perang dagang ini. Apalagi, AS dan Tiongkok menjadi mitra dagang terbesar Indonesia. Dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dua negara ini akan berimbas pada kinerja neraca perdagangan (trade balance). Data memang menunjukkan hal itu. Sepanjang Januari-Agustus 2019, ekspor ke AS turun penurunan sebesar 1,7% dan ekspor ke China turun sebesar 3,9%. Alhasil, akumulasi defisit neraca perdagangan (trade balance) mencapai USD 2,1 miliar.

Memang, nilai defisit ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, hal ini terjadi, karena pemerintah juga ‘sengaja’ melambatkan pertumbuhan impor, khususnya impor BBM dan barang modal untuk mengurangi pemburukan defisit neraca berjalan (current account). Efek sampingnya, pertumbuhan ekonomi akan lebih lambat.

Kinerja investasi juga melambat. Pada kuartal II-2019, pertumbuhan investasi turun menjadi 5,01% (yoy) dari kuartal sebelumnya 5,03% (yoy). Tertekannya kinerja investasi ini bukan disebabkan oleh menciutnya arus investasi global. Sebab, sejumlah negara, seperti Vietnam justru mengalami pertumbuhan arus investasi langsung (FDI) yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Termasuk, ketika perekonomian global dalam kondisi lesu akibat tekanan perang dagang.

Dengan kata lain, tekanan kinerja investasi ini tidak akibat faktor eksternal. Namun, banyak faktor internal (endogen) yang berperan menekan kinerja investasi. Iklim investasi Indonesia belum dipandang ramah oleh investor  global.Hasilnya terlihat dari turunnya peringkat daya saing Indonesia tahun 2019 yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF) 5 tangga menjadi peringkat 50.

Turunnya peringkat daya saing ini, bukan karena pemerintah tidak melakukan berbagai upaya. Bahkan, telah banyak dilakukan upaya yang terangkum dalam 16 paket kebijakan ekonomi. Sayangnya, banyak dari paket ekonomi tersebut yang tidak dapat diimplementasikan dan dieksekusi di lapangan. Dan, inilah pekerjaan rumah terbesar pada periode kedua pemerintah Jokowi. Pemerintah harus lebih bekerja keras dan berbenah. Karena, semua negara juga sedang berupaya keras memperbaiki iklim investasinya.

Menjaga Kinerja Konsumsi

Mengingat kinerja ekspor dan investasi masih sulit diandalkan dalam jangka pendek, maka pemerintah harus berupaya menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi agar tetap bisa bekerja prima, yaitu konsumsi rumah tangga. Bagaimapun, jika mesin utama pertumbuhan ini dibiarkan makin lesu, maka seperti ramalan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 bisa berpotensi berada di bawah 5%. Perlu juga dicatat bahwa saat ini, sejumlah indikator konsumsi cenderung menunjukkan tren penurunan.

Sampai dengan Agustus 2019, penjualan mobil tumbuh negatif sebesar 13% (yoy). Konsumsi semen tumbuh negatif sebesar 3% (yoy). Penjualan eceran hanya tumbuh tipis 1,1% (yoy). Dan, pertumbuhan kredit konsumsi (KK) hanya tumbuh sebesar 7,3% (yoy). Lebih rendah dari pertumbuhan kredit secara keseluruhan sebesar 8,6% (yoy).

Dengan melambatnya indikator kinerja konsumsi ini, maka relaksasi kebijakan moneter dan makroprudensial (sektor residensial dan otomotif) yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) yang juga sebagai kebijakan melawan siklus ekonomi yang turun (coutercycal policy) menjadi sebuah kebijakan yang patut diapresiasi.

Sehingga, kebijakan ini harus dapat direspons pemerintah dengan kebijakan yang diarahkan untuk mendorong dan menjaga daya beli. Selain mempercepat penyerapan belanja sosial, penyerapan dana desa, subsidi lainnya. Pemerintah juga harus dapat melahirkan berbagai kebijakan yang dapat mendorong ruang-ruang bagi penciptaan lapangan kerja.

Mendorong Peran Millenial

Pemerintah juga harus dapat mendorong peran kaum millennial (Gen-Y) yang lebih besar. Menurut Howe & Strauss (2000), Gen-Y ialah mereka yang lahir pada periode 1982-2000. Berdasarkan Susenas 2017, jumlah Gen-Y mencapai sekitar 88 juta orang atau sekitar 33,7% dari total populasi. Generasi inilah yang akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia di masa depan.

Berdasarkan laporan Indonesia Millenial Report 2019 yang dirilis oleh IDN Research Institute, sekitar 51% dari pendapatan pendapatan/gaji kaum millennial ini alokasikan untuk konsumsi sehari-hari. Hanya sekitar 2% dialokasikan untuk produk-produk investasi. Jika ada stigma Gen-Y ini lebih konsumtif dibandingkan generasi orang tuanya (Gen X) tidak berlebihan. Tentu, ini positif dalam menggerakkan mesin perekonomian. Mengapa Gen-Y lebih konsumtif?. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari tiga ciri khas yang menonjol di dalam diri Gen-Y, yaitu 3C (creative, confidence, dan connected).

Meski begitu, pemerintah juga harus dapat mendorong kaum millennial untuk tidak hanya sebagai konsumen. Namun, juga harus mengambil peran lebih dalam perekonomian, yaitu sebagai pelaku usaha dan investor. Pemerintah telah mampu menangkap potensi besar dari Gen-Y ini. Salah satunya dengan menjual surat utang negara berbasis ritel (sukuk tabungan dan saving bond ritel/SBR) melalui platform penjualan online.

Hasilnya cukup menarik. Penjualan surat utang negara (SBN) berbasis ritel itu didominasi oleh Gen-Y. Dengan kata lain, stigma kaum millennial yang konsumtif secara perlahan mulai bergeser menjadi generasi investor. Hal inilah yang memang diharapkan untuk menjaga stamina perekonomian dalam jangka panjang.  

Mendorong pendalaman pasar keuangan. Menggeser budaya menabung menjadi budaya berinvestasi. Dengan berinvestasi di surat utang negara, Gen-Y telah telah turut berkontribusi dalam pembangunan ekonomi. Selain itu, pemerintah juga harus dapat memberikan dukungan melalui regulasi yang tidak memberatkan dan mengikat. Apalagi, Gen-Y ini dikenal tidak suka dengan hal-hal yang mengikat.

Harapannya, akan semakin banyak lahir inventor-inventor dan enterprenuer- enterprenuer baru dari Gen-Y untuk menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru yang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, seiring dengan telah berakhirnya era booming komoditas.


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya