BERSINERGI MENGENDALIKAN PANDEMI
Pandemi Covid-19 mampu melahirkan persoalan pelik bagi seluruh negara di dunia. Dilema terus menghantui para pengambil kebijakan, apakah mendahulukan pengendaliaan pandemi atau memompa denyut perekonomian yang makin melemah. Meski pandemi Covid-19 ini telah berlangsung lebih dari sepuluh bulan terakhir, tetapi penyebaran infeksi secara global belum menunjukkan tanda-tanda rehat. Sebaliknya, tren kenaikan masih terus terjadi.
Sampai dengan 21 Oktober 2020, secara global, jumlah orang yang terinfeksi lebih dari 41 juta orang dengan korban jiwa 1,1 juta jiwa.Tiga negara dengan kasus infeksi terbesar, yaitu Amerika Serikat (8,3 juta orang), India (7,6 juta orang), dan Brasil (5,3 juta orang). Bahkan, India diperkirakan akan menjadi episentrum baru yang bias menggeser Amerika Serikat, seiring lonjakan kasus infeksi harian yang terus berlanjut.
Mengingat belum adanya ‘obat mujarab’ untuk mengatasi pandemi ini, maka kebijakan pencegahan harus dilakukan, baik melalui penguncian wilayah (lockdown) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Efek sampingnya membuat aktivitas ekonomi berhenti. Hasilnya, denyut pertumbuhan makin melemah. Kontraksi pertumbuhan tidak bisa dihindari. Bahkan, sejumlah negara telah memasuki zona resesi. Untuk mencegah kerusakan ekonomi yang lebih parah, maka pemerintah di banyak negara menjalankan kebijakan countercyclical melalui stimulus fiskal.
Sejumlah negara harus melebarkan defisit fiskalnya ke level yang sangat dalam. Stimulus ini dibiayai oleh utang. Ruang untuk menarik utang pun sangat ketat. Sehingga, bank sentral pun harus menjadi ‘kasir’ untuk membiayai stimulus fiskal ini. Indonesia salah satu di antaranya. Itulah sebabnya, tantangan perekonomian dunia yang akan dihadapi di masa depan pasca terkendalinya pandemi ini ialah melambungnya utang pemerintah. Jika tidak dimitigasi dengan baik, bisa jadi bibit yang dapat memantik krisis ekonomi di masa depan. Situasi seperti ini pernah di kawasan Eropa pada tahun 2010 lalu.
Meski begitu, stimulus fiskal ini tidak akan efektif memberikan rangsangan pada perekonomian, jika pandemi tidak dapat dikendalikan dengan baik. Tengok saja, sejumlah negara yang telah membuka (reopening) aktivitas ekonominya, kembali harus melakukan pembatasan, karena pengendalian pandemi tidak dilakukan dengan baik. Dampaknya, aktivitas ekonomi kembali tertekan. Negara-negara yang mampu mengendalikan pandemi dengan baik berkorelasi positif terhadap perbaikan kinerja perekomian. China dan Vietnam merupakan dua negara yang cukup baik dalam mengendalikan penyebaran pandemi. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi dua negara ini pada kuartal II-2020 mampu bergerak di zona positif, di kala banyak mencatatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi.
Menjaga Sinergi
Di sisi lain, pengendalian pandemi di Indonesia masih jauh dari harapan. Meski telah menjalankan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama tiga bulan dan kembali membuka aktivitas ekonominya pada Juni 2020, tetapi tidak terjadi perbaikan yang signifikan. Hal ini tecermin dari rendahnya kapasitas testing dan tracing. Kebijakan dan aturan pun sering berubah-ubah. Hasilnya, pascareaktivasi perekonomian, laju infeksi, khususnya di DKI Jakarta meningkat signifikan dan tidak terkendali. Hasilnya, DKI Jakarta kembali memberlakukan PSBB jilid II pada 14 September lalu yang makin menambah ketidakpastian dan tekanan pada perekonomian.
Ironisnya, ketika DKI Jakarta mengumumkan pemberlakuaan PSBB ini, terkuaklah lemahnya sinergi dengan pemerintahpusat. Silang pendapat sanga tajam. Kondisi ini tentu bukan jadi sinyal baik bagi publik, dunia usaha, dan investor. Tidak adanya sinergi itu akan melunturkan kepercayaan investor luar terhadap prospek ekonomi ini. Indonesia bisa makin dihindari, karena dianggap tidak cakap mengendalikan pandemi.
Wisatawan asing makin enggan berkunjung ke Indonesia. Padahal, sektor pariwisata menjadi salah satu sektor strategis pemerintah untuk mendulang devisa di tengah lesunya mesin perdagangan. Bukan itu saja, aliran modal keluar dari pasar modal bisa terus berlanjut. Padahal, sejak awal tahun, investor asing cenderung melakukan aksi jual bersih (net sell), baik di pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN). Padahal, aliran modal ini sangat dibutuhkan untuk menambal neraca transaksi berjalan (current account) yang selalu mencatatkan defisit. Aliran modal keluar ini tentu akan memberikan dampak pada daya tahan nilai tukar rupiah.
Oleh sebab itulah, pemerintah pusat dan daerah harus dapat memperbaiki sinergi ini. Ketidakkompakan jangan lagi ditunjukkan, karena bisa makin melunturkan kepercayaan. Masyarakat bisa makin antipati dalam menjalankan protokol kesehatan, jika para elitnya tidak bersinergi dengan baik. Kebijakan PSBB lanjutan di DKI Jakarta pun bisa berujung antiklimaks, karena antusiasme masyarakat untuk menjalankan protokol kesehatan berada di titik nadir.
Mengendalikan pandemi adalah kerja bersama. Sinergi harus terus dijaga. Jika tidak, Indonesia akan terus tertatih-tatih untuk mengatasi pandemi ini, di saat banyak negara sudah mampu mengendalikan pandemi dengan baik. Kita tidak mengharapkan hal ini terjadi. Kita tidak menghendaki semua biaya ekonomi, kerja keras, dan nyawa yang hilang berujung dalam kesia-siaan (yang ditunjukkan dengan perbaikan pengendalian pandemi), karena para elit gagal menjaga sinergi dan lebih mendahulukan ego masing-masing.
Pandemi ini masih jauh dari selesai. Vaksin bukan peluru perak (silver bullet) yang menjamin pandemi akan hilang. Sinergi harus terus dapat dijaga. Indonesia memiliki pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Semoga para elit dapat menghidupi pepatah ini, demi keselamatan masyarakat dan untuk memperbaiki perekonomian ekonomi yang sudah terpuruk.
Kembali