My awesome top bar
My awesome top bar

Geliat Obligasi Korporasi

Meskipun di tengah kondisi perekonomian global yang masih lesu dan digelayuti ketidakpastian serta kinerja pertumbuhan ekonomi domestik yang belum berlari kencang, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan minat korporasi untuk menerbitkan obligasi.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), realisasi emisi obligasi korporasi sepanjang tahun 2013-2015 masing-masing mencapai Rp 57,76 triliun, Rp 48,46 triliun, dan Rp 63,27 triliun. Sementara, sampai Mei 2016, realisasinya telah mencapai Rp 29,1 triliun.

Nilai emisi ini masih berpotensi bertambah. Berdasarkan proyeksi Lembaga Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), nilai emisi obligasi korporasi sampai akhir tahun 2016 bisa menembus Rp 90 triliun (Harian Kontan, 20/6).

Jika hal ini terjadi, maka diharapkan bisa jadi momentum kebangkitan obligasi korporasi. Harus diakui, pasca krisis moneter (1997/98), penetrasi obligasi korporasi di pasar modal jauh tertinggal dibandingkan dengan Surat Utang Negara (SUN).

Kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) diharapkan bisa menjadi pemicu (trigger) gairah korporasi untuk menerbitkan obligasi. Otoritas telah memasukkan obligasi korporasi sebagai instrumen untuk menampung dana repatriasi yang menurut Bank Indonesia (BI) bisa mencapai Rp 560 triliun dan menurut pemerintah mencapai Rp 1000 triliun.

Jika dapat disimpulkan, beberapa faktor yang memicu geliat penerbitan obligasi korporasi selama ini ialah.

Pertama kinerja indikator makroekonomi Indonesia yang cenderung positif dan stabil, khususnya inflasi, suku bunga, dan nilai tukar rupiah. Ketiga variabel makro ini menjadi variabel yang sangat menentukan arah pasar obligasi.

Sampai Mei 2016, inflasi  tahunan (yoy) masih di level 3,3%. Pemerintah menargetkan inflasi 2016 di level 4%. Selain itu, nilai tukar rupiah juga stabil.

Rupiah jadi salah satu nilai tukar dalam golongan soft currency dengan kinerja cukup baik. Sepanjang tahun ini (YTD), rupiah terapresiasi sekitar 3,2%. Lebih baik dari tahun lalu yang terdepresiasi sekitar 10,9%.

Inflasi dan nilai tukar yang positif itu menjadi amunisi bagi Bank Indonesia (BI) untuk merelaksasi kebijakan moneternya. Sepanjang Januari-Juni 2016, suku bunga acuan (BI Rate) telah digunting sebesar 100 bps menjadi 6,5% dari akhir tahun 2015 di level 7,5%.

Bukan itu saja, BI juga melakukan reformulasi suku bunga acuan, yaitu mengganti BI Rate sebagai acuan dengan BI 7-days (reverse) repo yang berlaku efektif di Agustus 2016.

Reformulasi ini diharapkan membuat kebijakan moneter lebih efektif untuk memengaruhi suku bunga jangka pendek. Turunnya suku bunga diharapkan akan berdampak pada turunnya biaya dana (cost of fund).

Hal ini memang telah terjadi. Saat ini, kupon obligasi korporasi dengan peringkat layak investasi perlahan turun yang berkisar antara 8%-9%. Lebih rendah dari suku bunga kredit perbankan yang masih di atas 10%.

Kedua kondisi pasar saham yang belum stabil. Sejauh ini, arah pasar saham masih volatile. Ini tecermin dari pergerakan IHSG yang dalam tiga bulan terakhir cenderung ‘mondar-mandir’ di level 4800-4900.

Isu Brexit dan tarik-ulur penaikan Fed Rate jadi sentimen eksternal yang cukup dominan memengaruhi volatilitas pasar saham.

Kondisi ini membuat korporasi menahan diri untuk menggalang dana dari pasar saham baik melalui IPO dan Right Issue. Sepanjang Januari-Juni (YTD), IHSG mencatatkan return sebesar 5,2%. Sedangkan, obligasi korporasi telah menembus 14%.

Ketiga imbas dari obligasi jatuh tempo (mature). Tahun 2016, nilai obligasi korporasi yang jatuh tempo mencapai Rp 48,3 triliun yang didominasi oleh sektor keuangan (multifinance dan perbankan).

Korporasi lazimnya akan melakukan strategi refinancing, yaitu menerbitkan obligasi jatuh baru untuk membayar obligasi yang jatuh tempo.

Keempat kebutuhan pendanaan infrastruktur. Nilai investasi infrastruktur sepanjang tahun 2014-2019 diperkirakan mencapai Rp 5500 triliun. Kemampuan pendanaan dari APBN hanya sekitar 20%.

Dengan keterbatasan tersebut, pemerintah memberikan tugas khusus kepada BUMN untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur, khususnya dari sektor keuangan, infrastruktur, dan kontruksi.

Dengan kata lain, BUMN akan membutuhkan dana yang besar untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur tersebut. Obligasi menjadi salah satu sumber pendanaan.

Bahkan, agar kapasitas leverage BUMN makin besar untuk mengakses pendanaan, pemerintah telah menginjeksi modal melalui penyertaan modal negara (PMN). Tahun ini nilainya bisa mencapai Rp 57 triliun. 

Tantangan

Meskipun banyak faktor yang menguntungkan bagi korporasi untuk mengakses pendanaan dari pasar obligasi, tetapi sejumlah tantangan juga harus diperhatikan.

Pertama tingginya kebutuhan pembiayaan pemerintah untuk menutup defisit APBN. Tahun ini nilainya lebih dari Rp 500 triliun (gross).

Hal ini mendorong pemerintah menjadi sangat agresif menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Apalagi, adanya peraturan OJK No 1/POJK.05/2016 tentang investasi SBN jasa keuangan non bank yang mewajibkan minimal 20% dari dana kelolaan harus diparkir di SBN.

Hal ini akan makin menyedot likuditas dari pasar. Imbasnya, akan menghambat akses lebih bagi korporasi untuk menggalang dana dari pasar obligasi.

Kedua kinerja pertumbuhan yang lesu bisa mendorong turunnya kinerja keuangan korporasi. Hal ini bisa mendorong  pemangkasan peringkat (rating).

Penurunan peringkat akan meningkatkan risiko yang akhirnya bisa menurunkan minat investor untuk menyerap obligasi. Kalaupun diserap, maka harus dikompensasi dengan kenaikan kupon (bunga). 

 

Ditulis oleh: Desmon Silitonga-Analis PT. Capital Asset Management


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya