My awesome top bar
My awesome top bar

Lokomotif Pertumbuhan

Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk Global Economic Prospect 2016 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2016 diperkirakan akan lebih baik dibandingkan tahun 2015.

Sebagai informasi, realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diperkirakan hanya berada di level 4,7%-4,8%. Ini merupakan pencapaian terendah yang pernah ditorehkan.

Rendahnya pencapaian pertumbuhan tersebut, tidak lepas dari merosotnya daya beli, terkontraksinya kinerja eskpor, stagnasi realisasi investasi swasta, dan minimnya belanja modal pemerintah.

Faktor Eksternal

Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik di tahun 2016, tetapi sejumlah ketidakpastian, khususnya dari sisi eksternal telah siap menghadang. Sehingga, jika tidak ada kebijakan antisipatif untuk menahan ketidakpastian eksternal ini, maka perbaikan pertumbuhan di tahun 2016 bisa menghadapi jalan terjal.

Setidaknya, ada tiga faktor eksternal yang akan memengaruhi perbaikan pertumbuhan Indonesia. Pertama pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang terus berlanjut. Sejumlah indikator makroekonomi AS telah memverifikasi pemulihan ini, seperti turunnya laju pengangguran (unemployment rate), membaiknya tingkat pendapatan rumah tangga (real earning), pulihnya penyerapan tenaga kerja, penjualan rumah, dan indeks kepercayaan konsumen.

Pemulihan ekonomi AS ini akan membuka ruang bagi The Fed untuk melanjutkan penaikan suku bunga acuan (federal funds rate/FFR) secara cepat atau bertahap (gradual).

The Fed telah mensinyalkan hal ini, ketika pertama kalinya (17/12) mengerek FFR sebesar 25 bps ke level 0,5%, setelah ditahan di level sangat rendah sejak tahun 2008.

Dampak dari penaikan FFR ini akan mengerek naik indeks mata uang dollar AS (super dollar) dan masih berlanjut sampai saat ini. Tentu, hal ini akan memberi dampak pada tertekannya nilai tukar, seperti yang terjadi pada tahun 2015.

Bahkan, eskalasi tekanan pada rupiah bisa meningkat, mengingat tingginya ketergantungan perekonomian domestik terhadap dana global yang terefleksi dari kepemilikan asing di pasar portofolio (saham dan SUN0 dan utang luar negeri (ULN) yang dimiliki oleh sektor swasta.

Dengan realitas seperti ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diharapkan dapat melahirkan kebijakan yang konsisten dan kredibel untuk menjaga tingkat kepercayaan (confidence level) investor.

Tahun 2015, pemerintah dan BI cukup bisa menjalankan ini. Hal ini terefleksi dari depresiasi nilai tukar yang relatif rendah dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan emerging lainnya. 

Kedua pelambatan ekonomi Tiongkok. Berdasarkan proyeksi sejumlah lembaga keuangan dunia, penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok ke depan diproyeksikan akan terus berlanjut. Hal ini disebabkan oleh perubahan haluan model pertumbuhan haluan dari investasi dan ekspor menjadi konsumsi dan jasa. Hal ini dilakukan pemerintah Tiongkok untuk mencari pertumbuhan yang lebih berkelanjutan (sustainable).  

Hasil survey yang dilakukan oleh AFP baru-baru ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2015 hanya di level 6,7%. Turun dari tahun 2014 di level 7,3%. Bahkan, Bank Nomura memperkirakan hanya pertumbuhan Tiongkok bisa menyentuh level 5,8%.

Bagi Indonesia, implikasi dari kemerosotan pertumbuhan ekonomi Tiongkok ini akan menggerus kinerja ekspor, mengingat Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, khususnya dalam transaksi komoditas.

Sehingga, jika tidak ada langkah cepat untuk mereorientasi produk dan pasar serta mendorong inovasinya, maka dipastikan defisit neraca dagang (trade balance) tahun 2016 bisa melebar, mengingat kondisi impor tahun 2016 akan lebih baik, seiring menggeliatnya investasi, khususnya yang dilakukan oleh pemerintah.  

Di samping pelambatan pertumbuhan, sejumlah kalangan juga menaruh perhatian besar terhadap devaluasi yuan. Devaluasi yuan ini menjadi sorotan, karena minimnya  keterbukaan dan komunikasi yang dilakukan pemerintah dan People Bank of China (PBoC) dengan pelaku pasar.

Itulah sebabnya, ketika terjadi devaluasi yuan dadakan pada Agustus 2015 dan Januari 2016, langsung menimbulkan kepanikan di pasar saham yang bukan saja merontokkan pasar saham Tiongkok, tetapi juga membuat bursa global berguguran dengan miliar dollar AS investasi menguap. Pendek kata, devaluasi yuan ini akan menjadi sumber ketidakpastian yang akan menambah bobot pada ketidakpastian yang telah terdeteksi saat ini.  

Faktor ketiga kejatuhan harga minyak. Sampai saat ini, harga minyak belum menunjukkan tren pemulihan. Sebaliknya, harga minyak dunia telah terpangkas sekitar 20% sejak tahun ini (year to date/YTD) dan saat ini di bawah level $ 30/barrel.

Merosotnya permintaan di tengah melimpahnya stok (oversupply) minyak global dan ditambah tekanan geopolitik (iran dan arab) menjadi faktor yang akan menekan harga minyak. Bahkan, Goldman Sachs dalam laporannya bertajuk ‘lower for even longer’ menyatakan bahwa harga minyak dunia tahun 2016 bisa menuju level $ 20/barrel.

Bagi Indonesia, kemerosotan harga minyak ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi menjadi kesempatan untuk memangkas subsidi BBM dan menurunkan harga, sehingga diharapkan dapat memperbaiki fiscal space pemerintah dan mendorong peningkatan daya beli.

Namun, di sisi lain, dapat memberi dampak pada terpangkasnya pendapatan terhadap APBN, mengingat selama ini investasi di sektor hulu minyak cukup signifikan memberikan kontribusi terhadap pendapatan APBN.

Lokomotif Pertumbuhan

Oleh sebab itu, di tengah ketidakpastian eksternal yang masih akan bergemuruh sepanjang tahun 2016, maka pemerintah menjadi kunci untuk menggerakkan lokomotif pertumbuhan dan diharapkan dapat sesuai dengan yang diekspektasikan di level 5%-5,3%.  

Untuk itu, pemerintah harus memastikan bahwa penyerapan belanja, khususnya belanja infastruktur harus dapat dimaksimalkan. Pemerintah juga harus mendorong peran aktif BUMN untuk berekspansi ke kawasan yang infrastruktur terbatas. Ini  akan menstimulus masuknya investasi dari sektor swasta.

Tentu, agar akselerasi belanja ini dapat berkelanjutan, maka pemerintah harus dapat mengamankan sisi penerimaan, khususnya dari sektor perpajakan, baik melalui revaluasi aset, pengampunan pajak, dan peningkatan wajib pajak pribadi.

Selanjutnya, pemerintah harus bisa menjaga inflasi rendah. Ini diharapkan mendorong daya beli dan dapat berimbas pada turunnya suku bunga, khususnya suku bunga UMKM. Menggeliatnya UMKM diharapkan dapat berkontribusi pada pertumbuhan.

Terakhir, pemerintah harus konsisten untuk melaksanakan berbagai seri paket ekonomi yang telah dirilis pada tahun 2015. Mengingat, di dalam paket itu mengandung berbagai insentif. Bagaimana pun, di tengah siklus perekonomian yang sedang lesu, pemberian insentif menjadi strategi jitu menarik investasi.

Ditulis oleh: Desmon Silitonga-Analis PT. Capital Asset Management


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya