Manipulasi Harga Saham
Terungkapnya kasus manipulasi harga saham PT Sekawan Intripratama Tbk (SIAP) menjadi ujian terhadap kredibilitas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai wasit pasar modal.
Kasus tersebut juga menjadi batu sandungan terhadap upaya self regulatory organization oleh yaitu Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) untuk mempromosikan pasar modal sebagai wadah investasi yang menguntungkan.
Kasus seper ti itu, akan memengaruhi calon-calon investor, khususnya kalangan muda dan pemula yang saat ini menjadi target pasar untuk mendongkrak basis investor. Mereka akan menjadi sasaran empuk dari praktik manipulasi harga saham ini. Tentu, transaksi seperti ini tidak adil (fair).
Sebenarnya indikasi saham SIAP dijadikan sarana untuk manipulasi (digoreng) sudah bisa ditebak jauh sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari hal berikut. Pertama, dalam satu tahun terakhir, BEI sudah berkali-kali menghentikan (suspend) transaksi saham SIAP, karena harganya bergerak tidak wajar. Pergerakan harga yang tidak wajar ini tidak didukung oleh aksi korporasi dan fundamental keuangan yang solid. Saat ini, SIAP masih merugi.
Kedua aksi backdoor listing yang mengubah lini bisnis SIAP dari sector plastik dan kemasan menjadi pertambangan yang berujung pada aksi right issuesenilai Rp 4,68 triliun tahun 2014 juga disinyalir penuh dengan ‘permainan’. Intinya, tata kelola SIAP sangat diragukan.
Ketentuan Undang-Undang
Sayangnya, otoritas tidak mampu mengendus hal ini. Hingga akhirnya terjadilah gagal bayar sekitar Rp 100 miliar dari salah satu perusahaan sekuritas (broker) yang memfasilitasi transaksi saham SIAP ini. Ada delapan perusahaan sekuritas terlibat dalam transaksi saham SIAP ini. Kasus gagal bayar ini mengkuak kecurigaaan yang terjadi selama ini.
Banyaknya perusahaan sekuritas yang terlibat memang sengaja didesain, agar transaksi menjadi rumit dan tidak dicurigai. Padahal, oknum di balik semua transaksi ini merupakan orang yang sama. Tentu, pemicu yang membuat semua ini terkuak adalah aksi jual paksa (force sell) yang dilakukan oleh pemegang Repo atau Repurchase Agreementsaham SIAP.
Pemegang Repo ini mencium gelagat bahwa yang me-Repo--kan saham SIAP tidak dapat menjalankan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang disepakti. Akibat tekanan jual ini, membuat harga saham SIAP terus tertekan. Tekanan jual yang sangat massif ini, membuat saham SIAP tidak ada yang ‘menampung’, hingga berujung pada gagal bayar.
Dalam papernya yang berjudul “Stock Market Manipulation: Theory and Evidence (2003)”, Aggrawal & Wu menyebutkan, saham-saham yang tidak likuid akan sering menjadi sarana yang digunakan untuk memanipulasi harga. Bukan itu saja, harga dan likuiditasnya juga akan meningkat cukup cepat, ketika terjadi tekanan jual. Hasil studi ini tentu dapat menggambarkan kondisi yang terjadi pada saham SIAP.
Kasus manipulasi harga saham bukan kali ini saja terjadi. Tahun 2002, transaksi seperti ini pernah terjadi pada saham PT Dharma Samudera Fishing Industries (DSFI) dan Primarindo Asia Infrastruktur (BIMA). Sejumlah regulasi telah dijalankan untuk meminalkan hal ini terjadi, seperti penerapan sub rekening dan kewajiban menjalankan know yourcustomer (KYC).
Namun, regulasi tersebut belum dapat menghilangkan modus manipulasi harga. Hal ini karena masih ada wilayah abu-abu yang dimanfaatkan pihak berkepentingan untuk mengeruk keuntungan. Jangankan di pasar modal Indonesia yang struktur pasarnya belum efisien. Pasar modal Amerika Serikat yang struktur pasarnya sudah relatif efisen dan mature,modus manipulasi harga saham seperti ini masih bisa terjadi.
Bagaimana aksi manipulasi harga saham tersebut dijalankan dapat kita saksikan di film Hollywood, seperti Wall Street (1987), Other’s People Money (1991), Boiler Room (2000), Enron: The Smartest Guys in the Room (2005), Wall Street Money Never Sleeps (2010), dan The Wolf of Wall Street (2013).
Jadi, apa pun motifnya, manipulasi harga saham merupakan salah satu kejahatan pasar modal dan ini bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, khususnya pasal 91 dan 92. Pada Pasal 91 disebutkan bahwa setiap pihak dilarang melakukan tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga efek di bursa efek.
Pasal 92 juga menambahkan, setiap pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan pihak lain, dilarang melakukan dua transaksi efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga efek di bursa efek tetap, naik, atau turun, dengan tujuan memengaruhi pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan efek.
Jangan Mudah Tergiur
Agar kasus manipulasi harga saham dan fraud pasar modal ini dapat diminimalkan frekuensinya, maka OJK dan SRO harus bisa mengantisipasi dan membenahi grey area regulasi yang masih berpotensi untuk dimanfaatkan oknum tidak bertanggung-jawab. Langkah BEI yang meminta perusahaan sekuritas untuk melaporkan setiap transaksi Repo patut diapresiasi. Namun, jauh lebih penting, jika terbukti melakukan kejahatan, maka oknumnya harus ditindak dengan tegas. Bagaimanapun, dana investor, khususnya pemula yang menjadi taruhannya.
Selain itu, UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal memang sudah mendesak untuk direvisi, khususnya terkait hukuman terhadap pelanggaran UU pasar modal yang saat ini masih terbilang cukup ringan. Bandingkan pasar modal di negara-negara
maju yang memberikan hukuman dan denda yang memberatkan. Bahkan si pelaku bisa di-blacklist dari aktivitas pasar modal seumur hidup jika terbukti melakukan kejahatan pasar modal.
Hal ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera. Namun, di atas semua itu, investor juga dituntut untuk cerdas dalam berinvestasi. Berinvestasi di pasar modal jangan disamakan dengan bermain judi di kasino dengan harapan mendapatkan keutungan besar dalam waktu singkat. Semua butuh proses, usaha, kedisplinan, dan waktu agar dapat menikmati hasil investasi yang baik.
Tentu sah-sah saja, jika investor berinvestasi jangka pendek (trading) dan memilih saham-saham yang tidak likuid. Tetapi, hasilnya biasanya tidak akan maksimal. Ini ditunjukkan dalam banyak hasil studi, sebagaimana halnya Barber & Odean (2000), yang menyebutkan bahwa transaksi jangka pendek kurang baik dalam menghasilkan keuntungan investasi yang optimal.
Oleh karena itu, investor jangan mudah tergiur oleh kenaikan harga saham yang impresif dalam jangka pendek (harian), tanpa didukung oleh aksi korporasi yang jelas dan fundamental yang solid. Saham seperti ini patut dicurigai. Sebaliknya, fokuslah untuk mendiversifikasi portofolio investasi pada saham-saham yang berfundamental baik, lini bisnisnya solid, produknya dikenal, dan memiliki good corporate governance (GCG) yang teruji.
Tak sedikit pasar modal Indonesia memiliki cadangan saham-saham dengan kriteria baik dan memiliki GCG yang sudah teruji. Selamat berinvestasi dan semoga tidak mudah terjebak.
Ditulis oleh: Desmon Silitonga-Analis PT. Capital Asset Management
Artikel ini juga dapat diakses di link berikut:
http://id.beritasatu.com/home/manipulasi-harga-saham-dan-revisi-uu-pasar-modal/133917
Kembali