Menakar Prospek IHSG
Memasuki tahun 2017, arah pasar saham Indonesia masih belum mampu bergeliat. Hal ini tecermin dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung bergerak terbatas.
Sepanjang Januari-Februari 2017, IHSG hanya mampu mencatatkan imbal hasil (return) sebesar 1,7%. Hasil ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 3,87%.
Bukan itu saja, investor asing yang biasanya menjadi ‘leader’ arah IHSG, seiring dengan porsi kepemilikannya yang cukup besar terhadap kapitalisasi pasar saham Indonesia masih mencatatkan jual bersih (net sell) senilai Rp 1,6 triliun.
Kondisi ini berbanding terbalik dari periode yang sama tahun lalu yang mampu mencatatkan beli bersih (net buy) sebesar Rp 1,5 triliun.
Dengan kondisi seperti ini, maka kinerja IHSG sejauh ini masih relatif tertinggal dibandingkan dengan indeks di kawasan Asia lainnya, seperti bursa saham India (7,95%), bursa saham Filipina (5,43%), bursa saham Malaysia (3,17%), bursa saham Korea Selatan (3,22%), bursa saham Taiwan (5,37%), bursa saham (4,45%), dan bursa saham Hongkong (7,91%).
Pertarungan dua kubu
Dengan kondisi IHSG seperti ini, maka pertanyaan akan selalu bermunculan di kalangan pelaku pasar, khususnya yang aktif bertransaksi, yaitu apakah IHSG masih bisa terus untuk melanjutkan tren kenaikannya yang berkelanjutan ke level 5800-6100 sampai akhir tahun ini seperti yang diramalkan (forecast) oleh sejumlah analis dan manager investasi di awal tahun ini?
Atau sebaliknya, akankah IHSG akan bergerak anomali menuju ke bawah level 5296, di mana level ini merupakan level terbaik yang dicapai pada tahun 2016 lalu?
Tentu, tidak mudah menjawabnya. Bagaimana pun, pergerakan bursa saham sangat dipengaruhi oleh banyak variable, seperti kondisi makroekonomi yang terjadi (eksternal dan internal), kinerja emiten, struktur bursa saham itu sendiri, regulasi yang ada, kinerja keuangan dan non keuangan perusahaan (emiten), kondisi politik dan keamanan, kedalaman bursa saham, hingga struktur investor dan psikologis investor.
Seluruh variabel-variabel tersebut akan saling berkelindan, sehingga membuat ‘pertarungan’ antara kubu (investor) yang optimis (bullish) dan kubu yang pesimis (bearish) akan terus terjadi.
Ketika kubu optimis lebih mendominasi transaksi, maka IHSG akan cenderung menguat. Dan, sebaliknya, ketika kubu yang pesimis yang lebih mendominasi, maka IHSG akan cenderung melemah.
Nah, salah satu variabel yang saat ini menjadi sorotan dari kedua kubu ini ialah terkait arah kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed). Telah menjadi rahasia umum bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh The Fed akan memberikan terhadap pergerakan indeks saham di berbagai bursa saham dunia, termasuk Indonesia.
Mengingat saktinya kebijakan The Fed ini, maka setiap gesture dan tone perkataan Gubernur The Fed akan dicermati dengan serius oleh investor dan otoritas di berbagai belahan dunia. Sebab, hal itu merupakan sinyal untuk mengambil keputusan.
Beberapa kebijakan The Fed di masa lalu yang mampu memberikan dampak pada bursa saham, seperti ketika The Fed meluncurkan kebijakan Quantitative Easing (QE) sebanyak tiga kali (2008-2014) yang menunjukkan adanya aliran likuiditas besar yang ini menjadi bahan bakar yang mendorong melonjaknya bursa saham di berbagai kawasan, khususnya di kawasan emerging yang kala ini masih mampu tumbuh relatif kuat. Bahkan, kala itu sejumlah bursa terindikasi mengalami bubble, karena tidak ditopang oleh fundamen yang solid.
Sebaliknya, ketika The Fed meluncurkan kebijakan Operations Twist (2012), Tapering Off (2014), dan kenaikan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) pada akhir tahun 2015 dan tahun 2016, dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS ke-45 telah memberikan imbas pada tertekannya bursa saham, khususnya di kawasan emerging.
Meski begitu, tidak selalu gambaran seperti di atas selalu terjadi. Anomali bisa terjadi di bursa saham. Bahkan, anomali-anomali tersebut telah menjadi studi empiris yang sangat menarik untuk didiskusikan.
Bahkan, bermunculanya anomali ini telah melahirkan cabang ilmu baru dari bidang keuangan, di mana salah satunya behavioral finance.
Salah satu anomali dari bursa saham yang terjadi minggu lalu, ketika The Fed akhirnya menaikkan FFR sebesar 25bps menjadi 0,75%-1%.
Jika pada dua kali penaikan sebelumnya bursa saham dunia cenderung tertekan, termasuk IHSG. Maka, pada penaikan FFR minggu lalu, justru bursa saham dunia, khususnya IHSG malah menguat. Bahkan, IHSG mampu menembus level tertinggi dalam sejarah bursa saham Indonesia.
Sejumlah analisa menyatakan bahwa kenaikan tersebut tidak dapat dilepaskan bahwa keputusan The Fed ini memang telah di price in oleh pasar, di mana The Fed memang diperkirakan akan menaikkan FFR sebanyak tiga kali sepanjang tahun 2017 ini, seiring dengan kondisi makroekonomi AS yang terus membaik dan akan lebih ekspansif di bawah pemerintah Donald Trump.
Meskipun keputusan The Fed ini telah memicu kondisi anomali di bursa saham Indonesia, tetapi pelaku pasar harus dituntut untuk waspada. Bagaimana pun, posisi IHSG saat ini cukup rentan mengalami koreksi.
Bahkan, bisa kembali tertekan, seperti tahun 2015, ketika IHSG saat ini mampu menembus level tertinggi, tetapi dalam beberapa bulan ke depan mengalami koreksi hebat.
Mengapa kewaspadaan dilakukan? Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi dunia yang masih belum pulih secara merata. Ekonomi Eropa yang masih menyimpan sejumlah permasalahan.
Ekonomi Asia yang juga masih tertekan, khususnya perekonomian China yang menyimpan ‘bom waktu’ berupa utang yang sangat besar yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Apalagi, pemerintah China terkadang sering tidak melakukan komunikasi dengan pasar, sehingga menimbulkan ketidakpastian yang tidak terduga.
Kondisi seperti ini pernah terjadi pada Agustus 2015, di mana kala itu otoritas moneter China (People of Bank China/PoBC) yang secara tiba-tiba melakukan devaluasi nilai tukar yuan. Kebijakan tersebut telah memicu gejolak hebat di bursa saham Indonesia, termasuk bursa saham Indonesia yang kala itu mengalami tekanan hebat.
Kembali ke Fundamental
Mengingat variabel eksternal berada di luar kendali dan gejolak (volatilitas) sudah merupakan suatu bagian yang melekat pada bursa saham itu sendiri, maka di sinilah perlu kembali pada fundamental.
Seperti nasihat investor nilai (value investor) Warrent Buffet, bahwa “dalam jangka pendek pasar saham itu seperti mesin voting, tetapi dalam jangka panjang seperti timbangan. Dengan kata lain, berinvestasi di bursa saham itu, hendaklah dilakukan dalam horizon jangka panjang dengan tetap bertaut pada fundemen.
Dan harus diakui bahwa fundamen ekonomi Indonesia dan emiten makin membaik dan solid. Fundamen inilah yang akan menjadi hal yang mendorong bursa saham Indonesia jadi salah satu tempat investasi yang menarik.
Kondisi makroekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus membaik. Pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh di level 5%. Bahkan, tahun 2017 akan terus membaik. Pertumbuhan ini juga ditopang oleh Inflasi yang terkendali, nilai tukar yang stabil, dan stabilitas sektor keuangan yang solid.
Bukan itu saja, pemerintah juga terus serius untuk memperbaiki struktur ekonomi domestik yang selama ini jadi titik lemah dari Indonesia, sehingga ketika muncul sentimen eksternal, pasar keuangan pun bergoyang.
Reformasi fiskal, ekonomi, dan hukum telah dan akan terus dilakukan. Bukan itu saja, pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur untuk menurunkan ongkos perekonomian yang selama ini sangat membebani.
Segala kebijakan reformasi ini telah mendapat apresiasi positif dari sejumlah lembaga pemeringkat dunia. Pada Februari 2017, lembaga pemeringkat Moody's Investors Service menaikkan outlook peringkat Indonesia dari stabil menjadi positif.
Pun begitu, April ini lembaga pemeringkat S&P Ratings dikabarkan akan memberikan peringkat layak investasi (investment grade) kepada Indonesia.
Hal ini diharapkan akan mendorong aliran dana masuk, khususnya ke bursa saham dan menjadi bahan bakar yang akan mendorong kenaikan IHSG.
Tidak ketinggalan, otoritas di sektor makroprudensial dan mikroprudensial (BI dan OJK) diharapkan juga dapat terus melahirkan kebikan yang kredibel, transparan, dan terukur . Bagaimana pun, kebijakan tersebut akan mampu berimbas pada terjaganya kepercayaan dan optimisme investor terhadap sektor keuangan, khususnya bursa saham.
Ditulis oleh: Desmon Silitonga- Head Investment PT Capital Asset Management
Kembali