Menakar Prospek Investasi Saham 2018
Tahun 2017 dapat dikatakan sebagai tahun pemulihan ekonomi dunia. Hal ini tercermin dari minimnya gejolak. Pertumbuhan ekonomi global, khususnya di negara maju tumbuh positif. Pasar portofolio di berbagai belahan dunia bergairah. Laju aliran investasi global makin membaik. Risk Appative investor global meningkat.
Meski begitu, ekonomi global juga dihadapkan pada nuansa “VUCA” (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Walau membaik, tetapi sejumlah kejutan dan ketidakpastian masih tetap mengintai, sehingga berpotensi mendelerasi proses perbaikan tersebut.
Itulah sebabnya, kerja sama yang erat antarnegara, khususnya otoritas di sektor keuangan sangat dibutuhkan. Reformasi struktural harus terus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.
Di tengah nuansa “VUCA” itu, perekonomian Indonesia tetap mampu melaju. Sepanjang tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan berada di level 5,0%-5,1% tahun 2017. Meski masih jauh dari potensinya, tetapi capaian ini patut diapresiasi. Sebab tidak banyak negara yang mampu tumbuh di atas 5%.
Pertumbuhan yang positif ini tidak dapat dilepaskan dari terjaganya stabilitas makroekonomi. Sepanjang tahun 2017, indikator makroekonomi menunjukkan tren yang positif, seperti inflasi yang rendah dan stabil, volatilitas nilai tukar yang terkendali, surplus neraca perdagangan yang meningkat, defisit transaksi berjalan yang makin sehat, dan cadangan devisa yang meningkat.
Bukan itu saja, berbagai kebijakan reformasi ekonomi yang terus dilakukan pemerintah untuk memperkuat struktur perekonomian mendapat ganjaran manis, yaitu dengan disematkannya peringkat layakn investasi (investment grade) oleh S&P Rating serta terjadinya lompatan peringkat dalam kemudahan berusaha dan daya saing. Kemudahan berusaha naik 19 peringkat ke level 72 dari 190 negara. Demikian juga dengan daya saing melompat lima peringkat menjadi 36 dari tahun 2016 di peringkat 41.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter juga turut memberikan dukungan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi, baik melalui jalur suku bunga dan makroprudensial. Sepanjang tahun 2017, BI kembali menggunting suku bunga acuan 7-Days Reverse Repo Rate (7DRR) sebesar 50bps menjadi 4,25%.
Selain itu, kondisi ekonomi global sepanjang tahun 2017 juga menunjukkan tren perbaikan. Bahkan, Dana Moneter International (International Monetery Fund/IMF)) berkali-kali merevisi ke atas prospek ekonomi global tahun 2017 dan 2018 menjadi 3,5% dan 3,6% dari proyeksi sebelumnya di level 3,2% dan 3,3%.
IMF memperkirakan bahwa tren perbaikan ekonomi dunia akan terus terjadi, khususnya di negara-negara maju. Bukan itu saja, negara-negara di kawasan emerging juga mulai menunjukkan tren pemulihan, seiring dengan pemulihan harga komoditas dan perdagangan dunia.
Pemulihan ekonomi dunia itu juga diikuti dengan terkelolanya risiko (uncertainty). Sepanjang tahun 2017, tidak ada muncul gejolak yang berarti, khususnya dari sektor keuangan.
Kebijakan ekonomi Donald Trump, Brexit, beban utang pemerintah China, ketegangan geopolitik, dan aksi terorisme yang sebelumnya dikuatirkan akan menjadi ketidakpastian yang menahan laju ekonomi global dan menaikkan volatilitas sektor keuangan global tidak terjadi.
Sebaliknya, di bawah pemerintah Donald Trump, ekonomi AS terus melaju yang diikuti dengan perbaikan indikator makroekonomi, khususnya inflasi dan tingkat pengangguran.
Demikian juga dengan kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed) yang sepanjang tahun 2017 menaikkan suku bunga acuan (federal funds rate/FFR) sebanyak tiga kali ke level 1,25%-1,5% dan diikuti dengan penyedotan likuiditas melalui kebijakan normalisasi neraca (balance sheet reduction) juga tidak menimbulkan bumpy yang berarti. Kebijakan The Fed ini tidak sampai menimbulkan gejolak besar terhadap sektor keuangan global, seperti yang terjadi pada tahun 2013, yaitu ketika The Fed menjalankan kebijakan tapering off serta pada tahun 2015, ketika bank sentral China (PBoC) yang secara mendadak mendevaluasi mata uang yuan.
Kombinasi internal dan eksternal yang kondusif inilah yang membuat pasar keuangan global, khususnya pasar saham melaju. Hampir semua indeks pasar saham di berbagai kawasan mencatatkan kinerja yang positif.
Pasar Saham 2017
Salah satunya pasar saham Indonesia. Sepanjang tahun 2017 lalu, IHSG mampu mencatatkan imbal hasil (return) sebesar 19,99%. Capain IHSG ini bisa melampaui kinerja indeks saham di sejumlah kawasan, seperti China (6,55%), Taiwan (15,01%), Malaysia (9,45%), dan Thailand (13,66%).
Tiga sektor mampu tumbuh di atas capaian IHSG, yaitu sektor keuangan (40,52%), Industri Dasar (28,06%), dan Konsumsi (23,11%). Bukan itu saja, nilai transaksi rata-rata harian juga mengalami peningkatan menjadi sekitar Rp 7,52 triliun dari tahun sebelumnya Rp 6 triliun.
Kinerja IHSG yang positif ini dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan (emiten) untuk menggalang dana. Sepanjang tahun 2017, ada 37 perusahaan yang mencatatkan sahamnya di pasar saham melalui mekanisme Initial Public Offering (IPO). Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 16 perusahaan.
Dengan kata lain, peran pasar modal sebagai liquidity provider dan sarana untuk berinvestasi semakin diperhitungkan. Hal ini sudah memang sepatutnya terjadi. Sumber pendanaan tidak bisa lagi ditumpukan pada sektor perbankan yang cukup rentan mengalami mismatch.
Pasar modal harus terus didorong untuk maju, karena perannya yang sangat penting dalam menyediakan sumber-sumber pendanaan jangka panjang. Perlu dicatat juga bahwa sepanjang tahun 2016-2017, pasar modal Indonesia mampu menorehkan 21 capaian. Salah satunya dengan mampu menggalang dana sebesar Rp 801 triliun.
Risiko dan opportunity
Nah, apakah capaian yang cukup baik di tahun 2017 akan berlanjut pada tahun 2018? Apakah saham masih menjadi instrumen investasi yang menarik? Untuk bisa menjawabnya, maka risiko-risiko yang berpotensi muncul sepanjang tahun 2018 perlu dipetakan.
Dari sisi eksternal, ada risiko yang patut diwaspadai, khususnya yang berasal dari Amerika Serikat. Kebijakan pemangkasan pajak dan kelanjutan penaikan FFR dan normalisasi neraca di bawah kendali Jerome Powell diperkirakan akan menaikkan tensi volatilitas. Apalagi, jika Jerome Powell tidak dapat meneruskan pola komunikasi, seperti yang dijalankan oleh Jannet Yallen.
Selain itu, bank sentral Eropa (ECB) tahun 2018 diperkirakan juga akan secara bertahap mengurangi dosis QE. Harus diakui, terkelolanya risiko di pasar keuangan global sepanjang 2017 tidak dapat dilepaskan dari injeksi likuditas dari ECB.
Selain itu, risiko ekonomi China, khususnya kondisi tekanan utang serta situasi geopolitik yang masih berpotensi muncul, juga menjadi risiko eksternal yang patut diwaspadai.
Sementara, dari sisi internal, tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar menjadi risiko yang harus diwaspadai. Kondisi ini terjadi imbas dari kebijakan fiskal dan moneter di negara maju dan laju harga harga minyak dan komoditas.
Itulah sebabnya, ruang untuk relaksasi moneter sepanjang tahun 2018 sangat kecil peluangnya. Yang terjadi adalah BI kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan untuk merespons pergerakan inflasi dan nilai tukar.
Selain itu, adanya perhelatan politik yang akan berlangsung di tahun 2018 juga akan menjadi sentimen yang memengaruhi arah pasar saham. Meski begitu, berdasarkan pengalaman sebelumnya, perhelatan politik tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar saham.
Meski potensi risiko cukup besar di tahun 2018, tetapi sejumlah opportunity juga patut diperhitungan. Pertama, pertumbuhan ekonomi domestik di tahun 2018 akan lebih baik dari tahun 2017. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 diperkirakan di level 5,3%.
Hal ini didorong oleh adanya perhelatan Asian Games dan Pilkada yang akan berimbas positif kinerja konsumsi. Selain itu, belanja pemerintah yang ekspansif, khususnya di sektor infrastruktur akan berimbas positif terhadap konsumsi dan investasi.
Kedua potensi Indonesia untuk kembali mendapat perbaikan peringkat dari S&P pada pertengahan tahun 2018. Sebagai catatan, pada 21 Desember 2017, Fitch Ratings mengerek naik rating Indonesia dari BBB-menjadi BBB dengan outlook stabil. Dengan dikereknya peringkat ini akan berimbas positif terhadap aliran likuditas global. Indonesia masih menjadi tempat yang menarik untuk berinvestasi.
Dengan menakar potensi risiko dan opportunity ini, maka penulis sangat menyakini bahwa pasar saham sepanjang tahun 2018 masih akan melanjutkan kinerja positifnya.
Saham masih tetap menjadi instrumen investasi yang akan tetap menguntungkan. Selamat berinvestasi di tahun politik. Semoga cuan tanpa melupakan kewaspadaan.
Kembali