Mendongkrak Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah dan makin kompleks. Ke depan, tren pertumbuhan ekonomi nasional cenderung stagnan. Sesudah krisis keuangan pada tahun 2008, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5,5 persen. Rata-rata pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2010-2013 di level 6,1% persen. Namun, sepanjang tahun 2014-2018, rata-rata pertumbuhan ekonomi turun menjadi hanya sekitar 5 persen.
Oleh sebab itulah, pekerjaan rumah pemerintah ke depan ialah bagaimana agar dapat keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5 persen ini. Apalagi, saat ini, Indonesia sedang menghadapi era bonus demografi, di mana pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen tidak cukup untuk memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Bahkan, agar dapat keluar dari jeratan negara berpendapatan menengah (middle income trap), maka pertumbuhan ekonomi harus didorong lebih tinggi.
Masalahnya, ketika pertumbuhan ekonomi didorong lebih tinggi, maka akan membuat perekonomian menjadi panas (overheating), yang salah satunya ditandai dengan melebarnya defisit transaksi berjalan (DTB). Imbasnya akan memukul kinerja nilai tukar rupiah. Dan, ujung-ujungnya akan mendorong otoritas moneter (Bank Indonesia) menaikkan suku bunga kebijakan. Hasilnya, akan memukul kinerja sektor riil dan memukul pertumbuhan ekonomi. Situasi ini seperti lingkaran setan yang sampai saat ini belum bisa teratasi.
Di sinilah pentingnya untuk secara konsisten melakukan transformasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa lagi ditumpukan pada komoditas berbahan mentah, seperti batubara, karet, dan kelapa sawit. Potensi perekonomian yang melimpah dengan bonus demografi yang besar harus mampu dimaksimalkan dengan baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak boleh menurun sebelum mencapai titik keemasan. Percepatan pertumbuhan diharapkan dapat mengungkit pertumbuhan, ketika perekonomian global melambat. Dibutuhakan model pertumbuhan ekonomi yang dapat menyerap jutaan lapangan kerja, sehingga tidak memicu efek samping berupa permasalahan sosial dan ketimpangan.
Merujuk pada data historis bahwa perekonomian Indonesia pernah tumbuh dengan sebesar 10,9 persen pada tahun dan sebesar 9,9 persen pada tahun 1980. Bahkan, sepanjang tahun 1994-1996, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7,5-8,2 persen Berkaca dari data historis ini, maka seharusnya pertumbuhan ekonomi masih mampu tumbuh lebih tinggi dari capaian saat ini.
Meski harus diakui bahwa tantangan perekonomian global saat ini jauh lebih rumit dibandingkan dekade sebelumnya. Perekonomian Indonesia seharusnya lebih fleksibel dan adaptif dalam menghadapi dinamika dan ketidakpastian tantangan global saat ini.
Dengan kata lain bahwa mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari capaian saat ini bukanlah hal yang mustahil. Bahkan, sejumlah lembaga keuangan dunia memperkirakan bahwa proyeksi jangka panjang pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat positif. Bahkan, Indonesia diperkirakaan mampu menjadi salah satu tulang punggung perekonomian dunia.
Pemerintahan saat ini memang terus berusaha memperbaiki permasalahan dalam tubuh perekonomian. Sejumlah capaian positif mulai terlihat, meski pekerjaan rumah juga masih sangat banyak. Meski begitu, jika kebijakan yang dijalankan saat ini dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, maka diharapkan akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai merangkak naik sejak 2016 dengan kualitas yang membaik. Hal ini tecermin dari tingkat pengangguran dan ketimpangan yang turun. Pencapaian pertumbuhan ini harus diapresiasi. Apalagi, kondisi pertumbuhan ekonomi global masih melambat. Pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara maju makin sulit. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari struktur demografi, di mana usia produktif makin menurun. Sehingga, peluang Indonesia untuk melepaskan diri dari stagnasi pertumbuhan sangat terbuka.
Mendorong Investasi
Salah satu cara untuk merealisasikannya ialah dengan mendorong investasi agar lebih masif masuk ke dalam perekonomian domestik, dengan tetap mendorong kinerja konsumsi rumah tangga. Kebijakan untuk menjaga inflasi tetap di level yang rendah dan stabil harus terus dijalankan secara konsisten, agar vitalitas daya beli dapat dipertahankan.
Jika dilihat dari data historis, pertumbuhan investasi pernah mencapai kinerja yang cukup baik. Sepanjang tahun 2010-2012, pertumbuhan investasi mencapai 8,1-9,1 persen. Sayangnya, mulai tahun 2013-2016, pertumbuhan investasi cenderung melambat menjadi sekitar 4-5 persen. Dan, untunglah sejak tahun 2017-2018, pertumbuhan investasi mulai menunjukkan tren kenaikan menjadi masing-masing 6,2 persen dan 6,7 persen.
Jika pertumbuhan investasi ini bisa didorong terus, maka peluang pertumbuhan ekonomi untuk naik lebih tinggi sangat terbuka. Untuk itulah, pemerintah perlu terus memperbaiki kualitas iklim investasi.
Iklim investasi yang makin membaik diharapkan akan dapat mendorong peningkatan daya saing perekonomian. Harus diakui bahwa peringkat daya saing Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Kolaborasi
Meski pemerintah sangat masif dalam membangun berbagai infrastruktur dalam empat tahun terakhir. Namun, hal itu belum cukup. Itu masih satu variabel. Masih ada beberapa variabel lain yang harus didorong, seperti (i) peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), (ii) peningkatan riset dan teknologi, dan (iii) dukungan kelembangan.
Intinya, meski masih banyak pekerjaan rumah dan tantangan yang menghadang di depan. Namun, kita harus tetap optimis. Apalagi, Indonesia memiliki modal besar yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup memadai. Tinggal, bagaimana kita semua bersinergi dan bersatu padu.
Bagaimana pun, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kolaborasi dari semua pihak untuk dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi, karena tantangan yang kita hadapi juga makin tidak mudah.
Kembali