Meneropong Arah Rupiah 2017
Sepanjang tahun 2016 nilai tukar rupiah mencatatkan kinerja yang positif di tengah sentimen eksternal yang kerap bermunculan. Pada (30/12/2016), nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 13.436 atau menguat (apresiasi) sekitar 2% terhadap nilai tukar dollar AS dengan volatilitas yang terjaga. Hasil ini menempatkan rupiah sebagai salah satu nilai tukar terbaik di kawasan Asia Pasifik.
Bukan itu saja, kinerja rupiah ini lebih baik dari asumsi APBN-P 2016 di level Rp 13500 per dollar AS dan dibandingkan kinerja tahun 2105 yang mengalami melemah sebesar 10,92%. Setidaknya ada beberapa faktor yang mendorong penguatan nilai tukar rupiah ini.
Pertama kinerja makroekonomi yang cukup stabil, seperti pertumbuhan ekonomi di level 5%, inflasi di level 3,02% (yoy), dan Defisit Transaksi Berjalan (DTB) yang berada di level yang sehat.
Terjaganya kinerja makroekonomi ini tidak lepas dari upaya-upaya pemerintah untuk memperbaiki dan memperkuat struktur perekonomian, melalui kehadiran paket-paket ekonomi.
Sejak September 2015-Desember 2016 telah dilahirkan 14 paket ekonomi yang diharapkan bisa memperbaiki kerapuhan berbagai sektor, khususnya di sektor riil.
Terjaganya stabilitas makroekonomi ini juga tidak dapat dilepaskan koordinasi yang baik antara otoritas di sektor keuangan (BI, OJK, LPS). Sepanjang tahun 2016, BI cukup baik dalam menjaga stabilitas nilai tukar dengan berbagai piranti kebijakan yang dimilikinya, baik melalui kebijakan suku bunga, kebijakan sistem pembayaran, dan kebijakan bauran makroprudensial. BI juga cukup aktif menjaga rupiah di pasar melalui intervensi, baik melalui pasar valas dan pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Di samping itu, OJK juga secara aktif melakukan pengawasan terhadap sektor keuangan. OJK melakukan berbagai relaksasi regulasi, sehingga sektor keuangan mampu melewati berbagai tekanan.
Kedua aliran likuiditas di pasar keuangan dan sektor riil yang cukup positif. Sepanjang tahun 2016, investor asing mencatatkan net buy di pasar saham (equity market) sebesar Rp 15 triliun. Lebih baik dari tahun 2015 yang mencatatkan net sell sebesar Rp 23 triliun.
Kondisi serupa juga terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Investor asing mencatatkan net buy mencapai Rp 101,2 triliun. Lebih baik dari tahun 2015 sebesar Rp 97 triliun.
Demikian juga aliran likuditas ke sektor riil melalui Foreign Direct Investment (FDI). Sepanjang Januari-September 2016, nilai FDI mencapai Rp 453,4 triliun atau tumbuh sebesar 13,4% (yoy).
Aliran likuiditas juga berasal kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Sepanjang Juli-Desember 2016, total dana tebusan yang diterima pemerintah mencapai Rp 103,26 triliun dengan total nilai harta yang direpatirasi dan dideklarasikan sebesar Rp 4.397,49 triliun.
Ketiga kondisi sisi pasokan (supply) dan permintaan (demand) valas. Sepanjang tahun 2016, tekanan permintaan tidak terlalu mengkuatirkan. ULN pemerintah dan korporasi yang jatuh tempo bertenor pendek tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan tenor penjang.
Selain itu, kebutuhan permintaan untuk ekspor dan impor juga tidak tumbuh signifikan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi pertumbuhan ekonomi global yang lesu dan pertumbuhan ekonomi domestik yang cenderung belum tumbuh signifikan. Sepanjang tahun 2016, pertumbuhan ekspor dan impor masih cenderung terkontraksi.
Di sisi lain, dari sisi pasokan, kebutuhan valas dipenuhi dari sektor perdagangan (ekspor dan impor). Sepanjang Januari-November 2016, surplus neraca perdagangan (trade balance) mencapai $ 7,79 miliar.
Selain itu, pasokan juga berasal dari utang luar negeri (ULN), baik yang dilakukan oleh pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) valas, baik konvensional dan sukuk dan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Pasokan valas ini turut mendongkrak cadangan devisa.
Sampai dengan Desember 2016, nilai cadangan devisa Indonesia mencapai $ 116,4 miliar yang cukup untuk membiayai 8,4 bulan kebutuhan impor dan ULN pemerintah.
Di samping itu, kebijakan hedging yang telah dijalankan oleh sejumlah perusahaan, khususnya BUMN yang menggunakan valas dalam jumlah besar, seperti PT Pertamina (persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (persero) turut berdampak positif pada rupiah.
Selain itu, peraturan Bank Indonesia (PBI) No 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI juga berkotribusi bagi penguatan rupiah.
Keempat sentimen eksternal yang tidak seburuk yang diekspektasikan. Sepanjang tahun 2016, cukup banyak sentimen eksternal yang bermunculan, seperti kenaikan suku bunga acuan AS, keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa, dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS ke-45.
Sentimen ini sangat efektif menginduksi aliran dana keluar dari sektor keuangan, apalagi saat ini investor asing mendominasi kepemilikan aset di pasar keuangan domestik.
Namun, rupiah cukup beruntung, karena sentimen yang sempat dikuatirkan banyak pihak ini akan menimbulkan guncangan besar teryata tidak seburuk yang diperkirakan.
Menjaga Volatilitas
Dengan rezim devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang (floating rate) yang dianut Indonesia saat ini, membuat pengelolaan nilai tukar rupiah menjadi tidak mudah dan menantang.
Apalagi, dengan makin terintegrasi pasar keuangan global dengan instrumen-instrumen keuangan yang makin kompleks dan rumit. Perekonomian dunia yang masih melempem yang mendorong otoritas kebijakan moneter di negara maju harus menjalankan kebijakan yang tidak konvesional dan di luar pakem (kebijakan suku bunga negatif).
Kondisi ekternal ini akan memicu volatilitas nilai tukar. Tidak ada gunanya, suatu nilai tukar menguat, jika volatilitasnya bergerak liar. Yang diharapkan ialah nilai tukar yang bergerak stabil. Bagaimanapun, jika volatilitas bergerak liar, maka hal ini akan sangat merugikan perekonomian.
Oleh sebab itulah, tantangan yang akan dihadapi oleh BI untuk menjaga nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2017 tidaklah mudah. Selain harus menjaga kinerja rupiah yang positif, BI juga dituntut dapat menjaga volatilitas rupiah agar tidak bergerak liar.
Untuk itulah, BI tidak bisa bekerja sendiri. Sebaliknya, pemerintah, BI, OJK, dan LPS harus lebih memperkuat koordinasi. Bagaimanapun, pergerakan nilai tukar rupiah tidak ditentukan oleh satu varibel, tetapi oleh banyak variabel yang saling kait-mengait.
Oleh sebab itulah, pemerintah diharapkan konsisten untuk menjalankan dan mengakselerasi implementasi paket-paket ekonomi, sehingga diharapkan akan terus terjadi proses perbaikan terhadap struktur perekonomian. Jika struktur perekonomian makin membaik dan kuat, maka diharapkan membuat bantalan untuk menahan gempuran dari sisi eksternal.
Selain itu, otoritas di sektor keuangan diharapkan dapat melahirkan kebijakan yang kredibel, akurat, dan terukur. Hal ini diharapkan akan menjaga persepsi yang positif dari investor di pasar keuangan.
Pendalaman sektor keuangan domestik juga harus terus dilakukan secara konsisten, melalui kehadiran produk-produk sektor keuangan yang lebih terdiversifikasi, mendorong tumbuhnya investor domestik, khususnya investor ritel.
Pendalaman sektor keuangan ini diharapkan akan dapat menyeimbangkan dominasi kepemilikan investor asing. Sehingga, ketika sentimen eksternal meningkat, tidak memukul nilai tukar rupiah imbas dari aliran dana keluar (capital outflow).
Pendek kata, jika hal-hal di atas bisa dijalankan dengan baik, maka tahun 2017, meskipun di tengah kondisi perekonomian dunia yang masih penuh dengan ketidakpastian, khususnya dari AS, ketika The Fed mengerek suku bunga acuan, nilai tukar rupiah masih bisa melanjutkan kinerjanya seperti tahun 2016 lalu.
Bahkan, berpeluang lebih baik dengan volatilitas yang terjaga, jika pemerintah juga bisa mengelola stabilitas politik dan keamanan. Bagaimana pun, tahun 2017 merupakan tahun politik.
Kembali