My awesome top bar
My awesome top bar

Mengawal Kinerja Pertumbuhan Ekonomi

Realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2018 yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 6/8/2018) mencapai 5,27% (yoy). Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan kuartal I-2018 dan kuartal II-2017 yang masing-masing di level 5,06% (yoy) dan 5,01% (yoy). Capaian ini sekaligus menjadi pertumbuhan ekonomi kuartalan tertinggi sejak tahun 2013.

Bahkan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia, capaian pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2018 sangat lah baik. Pertumbuhan ekonomi China turun dari 6,8% (kuartal I-2018) menjadi 6,7% (kuartal II-2018). Pertumbuhan ekonomi Filipina turun dari 6,6% (kuartal I-2018) menjadi 6% (kuartal II-2018). Pertumbuhan ekonomi Vietnam turun dari 7,38% (kuartal I-2018) menjadi 6,79% (kuartal II-2018). Pertumbuhan ekonomi Singapura turun dari 4,5% (kuartal I-2018) menjadi 3,9% (kuartal II-2018).

Sokongan Konsumsi

Membaiknya kinerja pertumbuhan ekonomi ini tidak dapat dilepaskan dari sokongan konsumsi Rumah Tangga (RT) yang secara mengejutkan mampu tumbuh di level 5,14% (yoy). Padahal, sejak kuartal IV-2016, konsumsi RT hanya mampu tumbuh di bawah 5%. Padahal, sebagai kontributor terbesar terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) menjaga kinerja konsumsi RT tetap prima menjadi sebuah keniscayaan.

Pemerintah memang berusaha untuk terus mendorong konsumsi. Kebijakan untuk menjaga inflasi tetap rendah dan stabil telah dilakukan pemerintah. Sejak tahun 2015 sampai saat ini, inflasi dapat dikendalikan di bawah 4% (yoy). Ironisnya, kinerja konsumsi belum juga mampu merangkak naik.

Harus diakui sejak berakhirnya era supercycle harga komoditas pada tahun 2011, kemampuan konsumsi masyarakat mengalami penurunan, khususnya di wilayah-wilayah produsen komoditas, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Indikasi turunnya daya beli ini tecermin dari melambatnya pertumbuhan penjualan di sektor ritel sektor otomotif, sektor residensial, dan sektor konsumsi, khususnya barang-barang tahan lama (durable goods).

Di samping itu, berkembangnya penjualan online, berubahnya gaya hidup (style life), dan perubahan berbagai regulasi, khususnya di sektor perpajakan turut memengaruhi pola konsumsi masyarakat kelas menengah. Sebagian dari kelompok masyarakat ini memilih untuk menggeser disposable income yang dimilikinya dalam bentuk investasi, misalnya. Indikasi ini bisa dilihat dari meningkatnya dana kelolaan industri reksa dana dan meningkatnya jumlah invetor ritel yang tercatat di bursa saham. 

Dalam kondisi seperti inilah, intervensi fiskal dibutuhkan. Pemerintah terus meramu kebijakan agar konsumsi RT dapat ditingkatkan dengan injeksi dana segar ke masyarakat. Beberapa kebijakan itu di antaranya, percepatan penyaluran dana desa, bantuan sosial, dan THR dan gaji ke-13 untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), dan penyaluran belanja untuk pilkada serentak. Hal-hal inilah yang turut mengungkit membaiknya kinerja konsumsi di triwulan II-2018.

Sejumlah Hambatan

Meski begitu, kinerja konsumsi yang cukup baik pada kuartal II-2018 berpeluang tidak berlanjut pada kuartal selanjutnya. Sejumlah hambatan menanti di depan. Sehingga, momentum untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi masih sulit untuk direalisasikan.

Hal ini tecermin dari Indeks Tendensi Konsumen (ITK) yang diperkirakan turun pada kuartal III-2018 menjadi 96,99 dari kuartal II-2018 level 125,43. Turunnya ITK ini menunjukkan berkurangnya rencana masyarakat untuk membeli barang tahan lama (durable goods), melakukan rekreasi, dan menyelenggarakan hajatan.

Bukan itu saja, survei konsumen (SK) Juli 2018 oleh Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan penurunan dari bulan sebelumnya. Survei itu juga mengindikasikan bahwa tekanan harga sampai dengan Oktober 2018 diperkirakan meningkat, seiring dengan kekuatiran konsumen terhadap kenaikan kenaikan harga BBM nonsubsidi. 

Hambatan lain yang bisa menekan kinerja konsumsi ialah kebijakan pengetatan moneter oleh Bank Indonesia (BI). Ketidakapastian ekonomi global yang menghadang telah berimbas pada tertekannya nilai tukar rupiah. Sehingga, untuk menahan laju pelemahan ini, sejak bulan Mei-Agustus 2018, BI telah menaikkan suku bunga kebijakan (BI-7DRR) sebesar 125bps menjadi 5,5%. Bahkan, tren kenaikan BI-7DRR ini masih berpotensi berlanjut sampai akhir tahun, sekiranya pelemahan dan volatilitas rupiah terus berlanjut.

Melalui kenaikan BI-7DRR diharapkan akan kembali menarik masuk dana asing ke pasar keuangan domestik, sehingga akan berimbas positif pada penguatan dan stabilitas rupiah. Namun dampak dari pengetatan moneter ini akan membuat suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman akan terkerek. Sehingga, akan mengerem minat masyarakat untuk mengonsumsi. Memang, kebijakan pengetan moneter ini diiringi juga dengan relaksasi kebijakan makroprudensial melalui penurunan uang muka (Down Payment/DP) sektor properti dan residensial.

Meski begitu, seberapa besar dan efektif dampak dari kebijakan ini berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi masih sulit diperkirakan. Selain itu, untuk memberikan dukungan pada BI dalam melawan pelemahan nilai tukar rupiah, pemerintah juga akan mengurangi laju impor.

Harus diakui tingginya pertumbuhan impor hingga semester I-2018 yang mencapai 20% melampaui pertumbuhan ekspor 10% telah berkontribusi pada pelemahan nilai tukar rupiah. Bahkan, tingginya impor ini membuat Defisit Transaksi Berjalan (DTB) di triwulan II-2018 memburuk menjadi 3% terhadap PDB. Padahal, pada tahun 2017, DTB mampu dijaga di bawah 2% dari PDB.

Kebijakan pemerintah untuk mengerem laju impor ini akan berimbas pada tertekannya pertumbuhan ekonomi. Salah satu sektor yang bisa kena dampak ialah sektor e-commerce, mengingat hampir 90% produk merupakan komponen impor. Dengan berbagai hambatan tersebut, maka sulit rasanya untuk dapat mengulang hasil pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2018 tersebut. Untuk itulah, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2018 bisa mencapai 5,1%-5,2%, capaian tersebut sudah cukup baik.

Mengawal Pertumbuhan

Oleh sebab itulah, pemerintah diharapkan dapat mengawal pertumbuhan ekonomi agar mampu tumbuh sesuai dengan harapan (5,1%-5,2%) dan tidak lagi meleset seperti tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah juga diharapkan untuk dapat terus meningkatkan perbaikan iklim investasi untuk menarik arus investasi langsung (FDI) yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Memang tantangannya tidak mudah. Apalagi, di tengah situasi ekonomi global yang masih diliputi dengan berbagai ketidakpastian dan seiring dengan adanya hajatan tahun politik. Semua hal tersebut sangat memengaruhi persepsi dan tingkat kepercayaan dari investor dan dunia usaha.  

Dengan kinerja investasi yang terus tumbuh, maka selain dapat menopang kinerja konsumsi yang masih moderat, juga diharapkan dapat mendorong produktivitas. Bukti empiris menunjukkan agar pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh secara berkelanjutan, maka produktivitas lah yang harus terus didorong dan dijaga. Tentu investasi ini butuh dukungan, seperti kepastian regulasi, infrastruktur denga kualitas yang baik, birokrasi yang kompeten, dan SDM yang mumpuni.

Sektor industri juga harus terus didorong. Ketergantungan pada komoditas mentah dikurangi dan fokus untuk menggarap ceruk pertumbuhan ekonomi baru yang berasal dari sektor pariwisata, sektor kelautan, sektor ekonomi digital, dan sektor industri kreatif. Dan inilah tantangan yang harus dijawab dan dihadirkan untuk dapat mengawal dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang solid dan berkelanjutan.

Tentu pemerintah tidak bisa sendiri. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan semua stakeholder menjadi sebuah keniscayaan untuk dapat merealisasikannya.


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya