My awesome top bar
My awesome top bar

Mengejar Ketertinggalan Infrastruktur

Indonesia mengalami ketertinggalan yang cukup jauh dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura dalam hal pembangunan infrastruktur. Padahal, infrastruktur menjadi salah satu faktor yang dapat memperbaiki kondisi iklim usaha.

Sejak krisis moneter dan perbankan tahun 1997/1998, pembangunan infrastruktur di Indonesia praktis mengalami kemandekan. Bahkan, pemerintah tidak menaruh pembangunan infrastruktur sebagai salah satu prioritas utama dalam kebijakan ekonominya.  

Setidaknya hal itu tecermin dari minimnya alokasi anggaran untuk sektor infrastruktur di dalam APBN. Sepanjang tahun 2005-2009, misalnya, rata-rata alokasi belanja untuk sektor infrastruktur ‘hanya’ sekitar 4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan, misalnya dengan India dan China yang alokasinya anggaran untuk infrastrukturnya masing-masing mencapai 7 persen dan 10 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Tidaklah mengherankan, jika kinerja perekonomian kedua negara ini mampu melejit, menjadi dua kekuatan ekonomi di kawasan emerging yang sangat diperhitungkan dan menjadi negara yang diminati oleh pemodal global untuk menempatkan investasinya.

Ironisnya, alokasi anggaran untuk subsidi, khususnya di sektor energi (Bahan Bakar Minyak dan Listrik) cenderung mengalami lompatan yang sangat signifikan.  Tahun 2005, nilainya masih sebesar Rp 104,4 triliun, menjadi Rp 223 triliun tahun 2008, dan menembus rekor tertinggai pada tahun 2014 menjadi 314,8 triliun tahun 2014.

Padahal, telah dipahami bahwa subsidi ini selain tidak memberikan ‘hujaman’ yang lebih dalam terhadap perekonomian untuk memperbaiki nilai tambahnya, subsidi ini juga kental mempertontontonkan ketidakadilan, dan menguras devisa dalam jumlah yang sangat besar, karena posisi Indonesia sebagai net importir.

Tertinggalnya pembangunan infrastruktur ini sangat berdampak pada kekuatan fondasi ekonomi domestik. Meski, secara rata-rata pertumbuhan ekonomi Indoensia bisa menyentuh level 6 persen sepanjang tahun 2010-2012. Namun, pertumbuhan ini lebih banyak dikontribusikan oleh lonjakan harga komoditas.

Namun, ketika negara-negara maju (AS, Jepang, Eropa) dilanda krisis (2008-2010) dan memicu tekanan terhadap kejatuhan harga aset di sektor keuangan dan di sektor energi (minyak dan komoditas), dan melambatkan kinerja ekonomi di kawasan emerging, maka saat itulah tampak baha perekonomian Indonesia tidak dibangun di atas fondasi yang kuat.  Sejak tahun 2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat dan sampai saat ini belum mampu bangkit ke level terbaiknya.

Memang, Indonesia masih beruntung, karena mesin perekonomian cukup terdiversifikasi, sehingga pertumbuhan ekonominya masih bisa tumbuh positif. Tidak sampai terkontraksi, seperti yang dialami oleh beberapa negara di emerging lainnya, seperti Rusia, Brazil, dan Argentina.

Meski begitu, jika ketertinggalan infrastruktur ini tidak segera diatasi,  maka upaya untuk membalikkan pelambatan ekonomi ini akan makin menemui jalan terjal.

Pertumbuhan ekonomi harus didorong lebih tinggi dari capaian saat ini, karena jumlah penduduk yang besar. Apalagi, saat ini struktur populasi Indonesia didominasi oleh usia muda dan produktif. Setiap tahun, diperkirakan ada sekitar dua juta pencari kerja baru.

Padahal, kemampuan pertumbuhan ekonomi untuk menyerap tenaga kerja sangat terbatas. Apalagi, sektor-sektor yang bersifat padat karya, seperti manufaktur dan pertanian, kontribusinya cenderung menciut dalam pembentukan PDB. 

Alhasil, jika situasi ini tidak diatasi, maka para pencari kerja berusia muda ini bisa makin tidak produktif. Bisa memicu mereka jadi frustasi dan dampaknya tentu tidak baik pada kohesi sosial dan politik. Bukan itu saja

Tidak ada pilihan

Kondisi perekonomian seperti inilah yang coba untuk diperbaiki oleh  pemerintahan Jokowi-Kalla dalam tiga tahun terakhir. Pembangunan ekonomi tidak lagi dikonsentrasikan di wilayah tertentu, khususnya pulau Jawa.

Melainkan, tersebar tersebar di berbagai wilayah. Pembangunan dimulai dari pinggiran (remote), agar kue perekonomian bisa dinikmati oleh semua lapisan, khususnya di wilayah Indonesia Timur yang selama ini menjadi penonton dari kemajuan pembangunan.  

Agar dapat merealisasikan pembangunan ekonomi yang tersebar ini, maka di sinilah kehadiran infrastruktur menjadi sebuah keniscayaan.  Infrastruktur akan membuka akses dan menciptakan keterhubungan. Dampaknya diharapkan akan menarik aliran investasi, sehingga implikasinya akan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. 

Namun, mengingat Indonesia telah mengalami ketertinggalan yang cukup jauh dalam pembangunan infrastruktur, maka implikasinya ialah besarnya invetasi yang dibutuhkan. Sampai dengan tahun 2017, pemerintahan Jokowi-Kalla memiliki 244 Proyek Nasional Strategis (PNS) senilai Rp 4.059 triliun yang tersebar di berbagai wilayah.

Investasi yang besar akan dibiayai dari berbagai sumber. APBN tidak bisa banyak diandalkan, karena kapasitasnya sangat terbatas. Kondisi ekonomi global dan domestik yang melambat, sangat memengaruhi kondisi penerimaan. Sehingga, kapasitas belanja harus terus disesuaikan, agar defisit tidak melebar dan melanggar ketentuan di dalam perundangan.

Meski begitu, keterbatasan anggaran ini tidak menjadi hambatan. Pemerintah terus berupaya agar proyek infrastruktur strategis bisa direalisasikan.

Untuk itu beberapa strategi pembiayaan yang terus dilakukan, seperti Pertama mengoptimalkan belanja dengan memangkas alokasi subsidi sektor energi secara signifikan, dari Rp 341 triliun (2014) menjadi hanya Rp 77,3 triliun (2017). Alokasi yang dipangkas itu digeser untuk belanja infrastruktur yang tahun ini nilainya mencapai Rp 378 triliun.

Kedua melalui belanja modal BUMN, khususnya BUMN karya. Pemerintah telah menyutikkan modal melalui Penyertaan Modal Pemerintah (PMN) sepanjang tahun 2015-2016 agar BUMN dapat menaikkan leverage.

BUMN-BUMN ini juga aktif mencari kombinasi pembiayaan. Salah satunya, melalui pasar modal, baik melalui penerbitan obligasi, EBA, RDPT, penerbitan saham baru, dan sekuritisasi aset. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)  juga terus memberikan dukungan melalui regulasi agar pembiayaan melalui pasar modal ini dapat dimaksimalkan.

Dengan mencari pembiayaan dari pasar modal, selain mengurangi beban sektor perbankan dan juga akan melibatkan masyarakat, khususnya Industri Keuangan Non Bank (IKNB) dalam pembangunan infrastruktur dan sekaligus menikmati hasil investasi dari sana. 

Ketiga kerja sama dengan sektor swasta (public-private partnership/PPP). Namun, pemerintah harus memberikan insentif dan harus menguntungkan secara bisnis. Bagaimana pun, jika prospek infrastruktur tidak feasible, maka sektor swasta akan enggan untuk mengeksekusinya.

Singkat kata, tidak ada lagi pilihan. Pembangunan infrastruktur harus terus dipercepat, karena Indonesia sudah jauh tertinggal. Tanpa, pembangunan infrastruktur, maka niscaya akan terjadi perbaikan terhadap fondasi ekonomi dan daya saing perekonomian.

Alhasil, Indonesia akan cukup sulit lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) dan tidak bisa secara maksimal menikmati buah dari bonus demografi yang diperkirakan berakhir pada tahun 2030. 


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya