Mengelola Euforia Pasar
Dalam dua bulan terakhir, euforia melanda pasar modal dan finansial Indonesia. Hal ini tecermin dari lonjakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sampai dengan Kamis (24/8), IHSG telah menembus level 5403,99. Capain ini telah melampaui konsensus sejumlah analis yang memproyeksikan IHSG sepanjang 2016 di level 4800-5000.
Melihat kondisi saat ini, sejumlah analis dan Manajer Investasi (MI) mulai berbalik haluan dengan menaikkan (upgrade) target IHSG. Bahkan, beberapa di antaranya memproyeksikan IHSG di level 6000 sampai akhir tahun.
Euforia ini telah membuat IHSG menjadi salah satu indeks di bursa global dengan kinerja terbaik. Nilai kapitalisasi pasar saham terdongrak dan melampaui nilai kapitalisasi pasar saham Malaysia dan Thailand. Bukan itu saja, nilai dan volume transaksi rata-rata harian juga meningkat dibandingkan awal tahun ini.
Investor asing pun seolah tidak kehabisan energi untuk melakukan aksi beli. Sejak Januari-19 Agustus, nilainya beli bersih (net buy) investor asing mencapai Rp 39,9 triliun. Lebih baik dari periode yang sama tahun lalu yang mencatatkan net sell sebesar Rp 2,2 triliun.
Kondisi yang sama juga terjadi di pasar Surat Utang Negara (SUN). Yield SUN tenor 10 tahun menyentuh level 7,08 persen (24/8). Level ini menyusut dari posisi akhir Juni 2016 di level 7,6 persen, sehingga mendorong return SUN melonjak.
Dari Agustus 2015-Agustus 2016 (yoy), total return SUN mencapai 21,5 persen. Melampuai return obligasi korporasi di level 15,6%. Dengan dana asing yang masuk ke SUN sepanjang tahun ini mencapai Rp 117,9 triliun. Lebih baik dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 64 triliun.
Aliran dana yang masuk ke pasar saham dan SUN ini ikut mendorong penguatan nilai tukar rupiah. Rupiah bergerak stabil di level Rp 13100-13200 per dollar AS atau terapresiasi sekitar 4-5 persen dari awal tahun. Capaian ini lebih baik dari tahun lalu, di mana rupiah melemah sekitar 10 persen.
Beberapa Faktor
Jika dicermati lebih jauh, euforia pasar modal dan finansial ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama kebijakan bank sentral AS (The Fed) yang sampai saat ini belum mengubah stance kebijakan moneternya. Federal Funds Rate (FFR) masih ditahan di level 0%-0,25%. Penundaan penaikan FFR ini akan sedikit banyak mengurangi ketidakpastian.
Kedua kebijakan pelonggaran moneter dan stimulus moneter yang masih dijalankan oleh bank sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Jepang (BOJ). Kebijakan ini akan membuat likuiditas global tetap terjaga.
Fenomena carry trade (meminjam dana murah dan menginvestasikan ke instrumen yang memberikan imbal hasil tinggi) terjadi di sini. Kawasan emerging, (Indonesia di dalamnya)menjadi sasaran dana murah ini. Hal ini tidak dapat dilepaskan mengingat kawasan ini masih tetap yang dapat memberikan imbal hasil positif, meski tren perekonomiannya melambat. Di negara maju, imbal hasil cenderung negatif.
Bukan itu saja, likuditas murah ini masih berpeluang bertambah. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Jepang yang baru-baru meluncurkan stimulus fiskal senilai $ 273 miliar untuk mengangkat perekonomian domestiknya dari jurang resesi.
Ketiga kondisi perekonomian domestik yang masih relatif baik. Meski pertumbuhan ekonomi melambat, tetapi masih tetap jauh lebih baik di bandingkan dengan sekawasan.
Bahkan, di kuartal II-2016, realisasi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,18 persen (yoy). Di atas ekspektasi pasar. Tren ini diperkirakan bisa berlanjut sampai akhir tahun, seiring dengan membaiknya daya beli, kepercayaan investor, dan serapan belanja pemerintah.
Bukan itu saja, pertumbuhan ekonomi yang positif ini turut ditopang terjaganya stabilitas makroekonomi. Hal ini tecermin dari inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil, defisit transaksi berjalan (DTB) yang membaik, suku bunga yang menuju tren penurunan, cadangan devisa yang meningkat, dan terjaganya stabilitas sektor keuangan.
Selain ketiga faktor tersebut, euforia ini juga turut dipengaruhi oleh faktor non makroekonomi. Bahkan, dapat dikatakan bahwa faktor non ekonomi ini cukup kuat mendorong euforia ini. Hal ini mengingat lonjakan yang terjadi di pasar modal dan finansial terjadi setelah faktor ini dirilis.
Adapun faktor tersebut, Pertama disahkannya UU No 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak (tax amnesty). Kebijakan ini akan mendorong tambahan pasokan aliran likuiditas ke pasar modal dan finansial melalui dana yang direpatriasi. Nilainya diperkirakan mencapai Rp 560-1.000 triliun. Banjirnya pasokan likuditas akan mendorong kenaikan harga aset.
Kedua perombakan (reshuffle) kabinet. Perombakan kabinet ini diharapkan akan membuat perbaikan yang positif terhadap perekonomian Indonesia. Apalagi, dengan hadirnya Sri Mulyani Indrawati (SMI) untuk mengomandoi sektor fiskal.
Kredibilitas SMI sudah tidak diragukan dan telah memilik jejak rekam yang baik. Salah satunya, dalam menavigasi perekonomian Indonesia, sehingga bisa selamat dari turbulensi yang ditimbulkan oleh krisis subprime mortgage tahun 2008.
Mengelola Euforia
Meski begitu, euforia pasar ini harus tetap dikelola, sehingga tidak menjadi pukulan balik bagi perekonomian. Harus diakui kedalaman pasar keuangan Indonesia masih relatif dangkal.
Padahal, sampai saat ini, perekonomian global belum menunjukkan perbaikan yang signifikan dan masih menyimpan risiko yang dengan cepat bisa mengubah keadaan, khususnya ketika The Fed ‘mengutak-atik’ suku bunga acuannya.
Hasil survey Ifo Institute baru-baru terhadap sejumlah ekonom menyimpulkan bahwa tingkat keyakinan pada situasi dan prospek ekonomi jatuh ke level terendah dalam tiga tahun terakhir (Kontan, 11/8)..
Untuk itulah, pemerintah harus dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang kredibel dan transparan untuk meminimalkan asimetric information dengan pelaku pasar.
“Gebrakan” menteri keuangan yang baru-baru ini memotong belanja APBN-P 2016 untuk kedua kalinya sebesar Rp 133,8 triliun diharapkan bisa memperbaiki krebilitas APBN yang selama ini menjadi sorotan banyak pihak. Diharapkan, kebijakan ini dapat memperbaiki persepsi dunia usaha dan pelaku pasar terhadap arah kebijakan ekonomi pemerintah ke depan.
Bukan itu saja, pemerintah juga harus mempercepat berbagai pekerjaan rumah yang belum selesai, seperti mengimplementasikan paket-paket ekonomi, mempercepat pembangunan infrastruktur untuk menciptakan konektivitas dan memecah bottleneck, mempercepat deregulasi yang menghambat iklim investasi dan daya saing, dan disiplin dalam menjaga performas APBN.
Koordinasi antara pemerintah, OJK, BI, dan LPS juga harus terus ditingkatkan agar dapat meminimalkan celah yang dapat memicu distabilitas makroekonomi.
Meskipun saat ini BI dan OJK berupaya untuk merelaksasi berbagai kebijakan sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan. Namun, seluruh kebijakan tersebut harus tetap mengedepankan unsur kehati-hatian (prudent policy).
Diharapkan seluruh langkah-langkah tersebut, tidak membuat euforia yang saat ini melanda pasar keuangan tidak bersifat semu. Sebaliknya, sesuatu yang sustain, karena pemerintah dan seluruh otoritas dapat menjaga kepercayaan dengan kebijakan yang baik, kredibel, dan transaran. Sehingga, pasar finansial dan modal dapat memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian.
Di sisi lain, investor juga harus tetap disiplin pada tujuan investasi dengan berinvestasi di aset keuangan berfundamental baik. Euforia pasar itu sangat sensitif dalam memengaruhi psikologi dan emosi investor. Perlu dicatat bahwa musuh terbesar investor saat berinvestasi di pasar keuangan ialah dirinya-sendiri.
Ditulis oleh: Desmon Silitonga-Analis PT Capital Asset Management
Kembali