Mengonversi Risiko Menjadi Peluang
Sampai saat ini belum tampak tanda pembalikan arah (rebound) di pasar saham dan obligasi, seusai tertekan hebat sepanjang tahun lalu. Data ekonomi global yang telah dirilis baru-baru ini juga tidak terlalu menggembirakan.
Kondisi tersebut membuat pelaku pasar menjadi gamang. Jika situasi tidak segera diatasi, hal itu akan memicu pesimisme. Padahal, untuk memulihkan siklus ekonomi yang lesu, pesimisme justru harus dihindari.
Kegamangan pelaku pasar ini tercermin dari buruknya kinerja bursa saham global sepanjang Januari 2016. Padahal, secara historis, kinerja bursa saham di bulan Januari biasanya positif imbas dari adanya January Effect. Imbal hasil (return) indeks bursa saham di berbagai kawasan global tercatat negatif, seperti Dow Jones (AS) (-6,46%), FTSE (London) (-3%), N225 (Jepang) (-7,9%), SSEC (Tiongkok) (-23,4%), HIS (Hongkong) (-10%), dan KS11 (Korea Selatan) (-2,5%).
Ada pun, imbal hasil indeks harga saham gabungan (IHSG) masih positif 0,48%. Meski begitu, imbal hasil ini turun jika dibandingkan dengan Januari 2015 sebesar 1,2%. Begitu pun, nilai transaksi rata-rata harian hanya Rp 5 triliun, turun dari Januari 2015 sebesar Rp 6,5 triliun. Investor asing kembali mencatatkan net sell sebesar Rp 2,3 triliun. Ini merosot dari Januari 2015 yang mencatatnet buy sebesar Rp 2,1 triliun.
Sementara, kondisi agak berbeda di pasar Surat Utang Negar (SUN). Yield SUN tenor 10 tahun yang sempat naik ke level 8,9% turun ke level 8,2%. Investor asing agresif melakukan pembelian. Penurunan yield ini dipengaruhi oleh tiga faktor.
Pertama, afirmasi Sovereign Credit Rating Indonesia yang diberikan Moody’s Investor Services (28/1) dan Japan Credit Rating Agency, Ltd (JCR) (1/2) di level layak investasi dengan outlook positif. Kedua, imbas dari pemangkasan bunga acuan atau BI rate pada (14/1) sebesar 25 bps. Ketiga, nilai tukar rupiah yang relative stabil, di mana sepanjang Januari lalu, rupiah hanya terdepresiasi sebesar 38 bps.
Alhasil, sepanjang Januari 2016, inflow investor asing mencapai Rp 19,1 triliun, sehingga total outstanding investor asing di SUN hingga Januari 2016 mencapai Rp 578,32 triliun (38% dari kapitalisasi pasar SUN.
Kepemilikan asing di SUN yang terbesar jika dibandingkan dengan SUN negara lain di Asean. Inilah yang membuat peluang Indonesia mengalami sudden reversal menjadi sangat besar, ketika ketidakpastian meningkat.
Mencermati Tiga Risiko
Meskipun kinerja IHSG dan SUN di bulan Januari lalu masih relative baik, tetapi sampai saat ini belum ada jaminan bahwa tren ini akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2016 nanti. Sejumlah analis pun masih belum konvergen dalam menentapkan target IHSG dan SUN. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi eksternal yang belum menentu.
Setidaknya, tiga risiko eksternal yang telah terjadi di tahun 2015 diperkirakan masih akan bekerja di tahun 2016. Ini akan menentukan arah pasar saham dan SUN.
Pertama, prospek perekonomian Tiongkok yang akan melanjutkan tren pelambatan. Realisasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok sepanjang tahun 2015 sebesar 6,9%. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan Tiongkok di tahun 2016-2017 di level 6,5% dan 6%.
Kinerja sektor manufaktur Tiongkok terus terkontraksi. Ini tercermin dari Caixin China Flash Manufacturing PMI Index di level 48,4. Lesunya sektor manufaktur ini akan memangkas permintaan bahan baku dan energi ini akan makin memukul negara-negara yang selama ini menjadi pasar ekspor Tiongkok, seperti Indonesia.
Bukan itu saja, PHK berlanjut, sehingga menurunkan daya beli. Arus investasi ke Tiongkok juga diperkirakan turun, imbas dari kenaikan harga tanah dan upah tenaga kerja. Tiongkok menjadi tidak kompetitif. Namun, yang jauh lebih dikhawatirkan oleh pelaku pasar dari Tiongkok, bukanlah fundamental ekonominya, tetapi kebijakan devaluasi yuan. Sejauh ini, People Bank of China (PBoC) telah dua kali mendevaluasi yuan (Agustus 2015 dan Januari 2016). Devaluasi ini telah menimbulkan kepanikan dan menghasilkan contagion effect ke kawasan lain.
Tekanan jual dalam jumlah besar (sell off) di bursa Tiongkok terus terjadi. Diperkirakan sepanjang tahun 2015, capital outflow dari bursa saham mencapai $ 1 triliun. Ini membuat cadangan devisa terkuras dari $ 3,69 triliun (Juni 2015) menjadi $ 3,3 triliun (Desember 2015). Meski cadangan devisa telah terkuras, tetapi tekanan di bursa saham belum mereda. Indeks Shanghai (SSEC) masih dalam tren anjlok, di mana sepanjang Januari 2016 turun hampir 24%.
Tentu, potensi untuk terjadinya outflow masih bisa terjadi, sekiranya kebijakan devaluasi berlanjut. Intinya, risiko dari Tiongkok ini sangat memengaruhi psikologis pelaku pasar. Kedua, kenaikan suku bunga yang dilakukan The Fed. Pelaku pasar sudah lebih mudah beradaptasi dengan risiko dari The Fed ini. Apalagi, saat ini bank sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Jepang (BOJ) masih akan melanjutkan kebijakan quantitative easing (easy money), karena kondisi perekonomian yang terus lesu. Alhasil, risiko dari The Fed ini lebih bisa dimimalkan.
Meski begitu, kenaikan suku bunga The Fed tetap saja memengaruhi psikologis pelaku pasar. Ini dapat dilihat dari masih berlanjutnya tren penguatan dolar AS. Ini akan memberi imbas pada tertekannya mata uang, khususnya di kawasan emerging, karena dianggap lebih berisiko.
Ketiga, jatuhnya harga minyak dunia. Harga minyak akan menjadi indikator terhadap prospek perekonomian ke depan. Jatuhnya harga minyak di satu sisi dapat mendorong ekspansi industri dan mendorong daya beli. Namun, di sisi lain ini juga akan memangkas kinerja perusahaan berbasis migas yang banyak memberikan multiflier effect terhadap perekonomian dan juga akan menaikkan risiko Negara yang APBN-nya ditopang pendapatan dari migas.
Ekonomi Masih Menjanjikan
Mencermati ketiga risiko tersebut, maka bagaimana seharusnya kita menyikapinya, sehingga risiko itu dapat dikonversi menjadi peluang untuk mendapatkan keuntungan. Seperti pepatah Tiongkok “di dalam setiap risiko, terselip juga sebuah peluang”.
Pertama investasi harus dilihat dalam horizon jangka panjang. Data historis menunjukkan, pasar portofolio berkali-kali diterpa krisis, tetapi tetap mampu rebound dan mencatatkan imbal hasil yang sangat tinggi. Tentu, hanya mereka yang berinvestasi saat siklus turun yang akan mendapatkan keutungan, ketika siklus berbalik.
Apalagi, saat ini prospek ekonomi Indonesia masih menjanjikan dan didukung oleh fundamental yang makin membaik, seiring dengan reformasi struktural yang sedang dan akan terus dijalankan pemerintah. Ini juga didukung oleh stabilitas moneter dan sistem keuangan yang cukup solid.
Kedua, disiplin untuk diversifikasi. Diversifikasi akan meminimalkan eksposure risiko. Saat ini, relative banyak saham dan obligasi yang memiliki harga yang terdiskon (undervalued) dan didukung prospek yang menjanjikan, khususnya sector beririsan dengan mesin penggerak pertumbuhan, yaitu konsumer, keuangan, infrastruktur, dan manufaktur.
Ketiga, terus berlatih mengendalikan faktor psikologis, yaitu takut (fear) dan serakah (greedy). Faktor psikologis ini lebih fundamental dalam menentukan keberhasilan investasi dari kemampuan teknis dan strategi. tidak banyak pelaku pasar berhasil mengatasi masalah psikologis ini. Serakahlah ketika mayoritas ketakutan, dan ketakutanlah ketika mayoritas serakah (Warren Buffet).
Ditulis oleh: Desmon Silitonga Analis PT Capital Asset Management
Dapat dibaca di link berikut:
http://id.beritasatu.com/home/mengonversi-risiko-menjadi-peluang/139536
Kembali