Mengukur Efek Relaksasi Moneter
Bank Indonesia (BI) pada 21-22 Agustus 2017 yang lalu memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (DDR) sebesar 25 bps menjadi 4,50%. Ini merupakan pemangkasan pertama sejak Oktober 2016.
Hal yang sama juga dilakukan terhadap suku bunga deposit facility dan lending facility yang masing-masing juga dipangkas sebesar 25 bps menjadi 3,75% dan 5,25%.
Keputusan yang diambil BI ini cukup mengejutkan, khususnya bagi investor di pasar keuangan. Bagaimana pun, selama ini, BI tidak menunjukkan sinyal untuk mengambil opsi ini dan lebih berhati-hati dalam mengubah stance kebijakan moneternya.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari situasi ekonomi dunia yang masih mengandung sejumlah ketidakpastian, khususnya yang berasal dari sektor keuangan sebagai imbas dari kebijakan otoritas moneter AS (The Fed).
Meski begitu, sampai dengan semester I-2017, berbagai ketidakpastian eksternal tersebut tidak seperti yang dikhwatirkan. Dampak dari keluarnya Inggris dari zona euro (Brexit), misalnya, relatif tidak memicu gejolak besar terhadap perekonomian dunia.
Demikian pula dengan keputusan The Fed yang telah mengerek federal funds rate (FFR) sebanyak dua kali menjadi 0,75%-1%, juga tidak memicu gejolak yang menggangu stabilitas makro ekonomi Indonesia.
Sebaliknya, kinerja indikator makroekonomi itu sangat positif, seperti nilai tukar rupiah yang bergerak stabil dan menguat di level Rp 13.300 per dollar AS, inflasi yang rendah di bawah dari yang diharapkan, current account deficit (CAD) di level yang sehat, nilai tukar rupiah yang stabil, dan cadangan devisa yang meningkat.
Kondisi yang sama juga terjadi di sektor keuangan, khususnya di pasar modal. Sejak Januari-Agustus 2017, IHSG mampu tumbuh sekitar 11% ke level 5.850 dan yield SUN tenor 10 tahun yang turun sebesar 101 bps ke level 6,78%.
Aliran dana (capital inflow) asing yang masuk ke perekonomian Indonesia juga tumbuh positif. Dalam delapan bulan terakhir, nilainya mencapai Rp 130 triliun.
Kondisi pasar modal yang positif ini dimanfaatkan pemerintah dan korporasi untuk menggalang dana (fund rising). Sejak Januari-Agustus 2017, nilainya mencapai Rp 153,65 triliun atau naik 42% dari periode yang sama tahun lalu.
Terkelolanya ketidakpastian eksternal dan positifnya kinerja makro ekonomi tersebut menjadi pertimbangan BI untuk memangkas suku bunga acuan 7-DDR.
Bukan sampai di situ, BI juga akan membuka ruang untuk kembali merelaksasi kebijakan makro prudensial melalui pelonggaran kebijakan Loan to Value (LTV) dan Financing to Value (FTV) yang akan dilakukan secara spasial. Sebagai catatan, relaksasi kebijakan LTV dan FTV ini terakhir kali dilakukan pada Agustus 2016.
Harapannya, kebijakan BI akan makin memperkuat fungsi intermediasi sektor perbankan, menggairahkan investasi, dan mengungkit daya beli yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap pemulihan pertumbuhan ekonomi.
Jeda Waktu
Namun, apakah efek dari kebijakan BI ini akan bisa langsung dirasakan oleh sektor riil melalui penurunan suku bunga pinjaman? Sepertinya masih membutuhkan jeda waktu (time lag).
Hal ini dapat dilihat kenyataan, yaitu meski BI telah memangkas suku bunga acuan sebesar 165 basis poin (bps) sejak akhir 2016, tetapi suku bunga pinjaman turun sebesar 110 bps rata-rata menjadi 11,7%. Penurunan suku bunga pinjaman ini jauh lebih lambat dibandingkan penurunan suku bunga deposito sebesar 145 bps rata-rata menjadi 6,49%.
Itulah sebabnya, sejumlah pihak cukup pesimis bahwa kebijakan BI ini akan memberikan efek signifikan dalam mendorong perbaikan pertumbuhan ekonomi.
Apalagi, sampai saat ini sektor perbankan masih melakukan konsolidasi, khususnya untuk memperbaiki kualitas aset sebagai imbas dari tingginya rasio kredit macet (non performing loani/NPL).
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan sangat berimbas pada kinerja sejumlah sektor usaha di dalam perekonomian. Alhasil, sektor perbankan menjadi lebih selektif untuk menyalurkan kreditnya agar tidak makin memperburuk kinerja NPL.
Sampai dengan Juli 2017, pertumbuhan kredit mencapai 8,2% (yoy). Hasil ini membaik dari bulan sebelumnya di level 7,75% (yoy). Perlu dicatat bahwa BI telah merevisi turun target pertumbuhan kredit 2017 dari sebelumnya di level 10%-12% menjadi 8%-10%.
Mengingat kebijakan BI ini membutuhkan waktu untuk bisa dirasakan efeknya oleh sektor riil, maka kebijakan BI harus tetap membutuhkan sokongan kebijakan lainnya, terutama dari pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pemerintah diharapkan untuk terus memperbaiki iklim investasi. Kehadiran paket ekonomi jilid XVI tentang upaya percepatan penerbitan perizinan berusaha dari tingkat pusat hingga daerah layak diapresiasi.
Harus diakui masalah perizinan jadi salah satu kendala terbesar yang sering dikeluhkan investor dan dunia usaha. Diharapkan paket ekonomi ini bisa segera diimplementasikan dan dieksekusi. Sehingga, tidak bernasib sama, seperti paket-paket ekonomi sebelumnya, yang masih sulit diimplementasikan. Kehadiran paket ekonomi ini diharapkan dapat memelihara optimisme dunia usaha dan investor terhadap perekonomian Indonesia.
Selain itu, pemerintah diharapkan untuk bisa lebih fokus mengarahkan APBN dalam menciptakan kualitas pertumbuhan ekonomi, mendorong daya beli, dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Bukan itu saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai wasit di sektor mikro prudensial untuk terus mendorong sektor perbankan lebih efisien dan transfaran dalam mengumumkan struktur biaya pembentuk suku bunga kreditnya.
Selain itu, OJK juga diharapkan untuk terus menelurkan regulasi-regulasi dalam mendorong pendalaman sektor keuangan, khususnya di pasar modal.
Dengan makin berkembang dan dalamnya pasar modal, selain akan mengurangi risiko mismatch di sektor perbankan, juga akan berdampak positif dalam menyediakan pendanaan yang murah murah dan jangka panjang. Dan sekaligus akan mendorong terciptanya budaya berinvestasi di tengah masyarakat. Bukan sekadar masyarakat penabung.
Kembali