Menuju Indonesia Emas
“…masa depan tergantung dari apa yang kita lakukan saat ini (Mahatma Gandhi)”
Pada tahun 2045 Indonesia akan berusia 100 tahun. Indonesia emas. Berdasarkan ramalan McKinsey Global Institute (2012), Indonesia akan menjadi perekonomian terbesar ke-7 di dunia pada tahun 2030. Sementara, Pricewaterhouse Coopers (2017) juga meramalkan, Indonesia akan menjadi perekonomian terbesar ke-5 dunia pada tahun 2030.
Standard Chartered, Plc (2019) lebih optimis lagi yang meramalkan Indonesia akan menjadi perekonomian terbesar ke-4 dunia pada tahun 2030. Pada tahun 2045, pendapatan per kapita Indonesia diperkirakan akan mencapai Rp 320 juta atau mengalami kenaikan hampir enam kali lipat dari posisi saat ini sebesar Rp 56 juta.
Ramalan jangka panjang terhadap perekonomian Indonesia itu cukup mendasar, mengingat Indonesia memiliki dua modal besar yang tidak banyak dimiliki oleh negara lain. Pertama, Indonesia memiliki populasi yang sangat besar yang didominasi oleh kaum muda (milenial/Gen-Y) dan produktif. Indonesia baru akan memasuki fase penuaan (aging) pada tahun 2037. Saat ini, populasi menua menjadi permasalahan besar di negara-negara maju yang berimbas pada kemerosotan kinerja perekonomiannya.
Kedua, Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDM) yang besar dan beragam yang menjadi sumber bahan baku untuk menopang produksi. Selain itu, Indonesia juga memiliki pasar yang sangat besar, sehingga menggiurkan secara bisnis.
Ironisnya, dua modal besar ini teryata belum mampu memberikan hujaman besar terhadap kinerja perekonomian. Sampai saat ini, Indonesia belum mampu lepas dari labirin negara berpendapatan menengah (pendapatan per kapita sebesar USD 3.896-12.055) untuk menjadi negara berpendapatan tinggi (kaya) dengan pendapatan per kapita di atas USD 12.055.
Memang, harus diakui bahwa tidak banyak negara yang mampu keluar dari labiran negara berpendapatan menengah ini. Hasil studi dari Bank Dunia (2013) menunjukkan bahwa dari 101 negara berpendapatan menengah pada tahun 1960, hanya sekitar 13 negara yang berhasil melompat menjadi negara kaya pada tahun 2008. Beberapa di antara negara-negara itu, seperti Hong Kong, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura.
Tantangan Indonesia untuk lepas dari labiran negara berpendapatan menengah semakin tidak mudah. Pertumbuhan ekonomi global yang cenderung melambat yang diikuti dengan bermunculannya berbagai ketidakpastian, telah membuat kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia ikut tertekan.
Sepanjang tahun 2009-2019, rata-rata pertumbuhan ekonomi domestik hanya sebesar 5,4%. Bahkan, sepanjang pemerintahan Jokowi-Kalla tahun 2014-2019, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5%. Padahal, untuk dapat keluar dari labiran negara berpendapatan menengah dan melompat menjadi negara kaya, maka pertumbuhan ekonomi setidaknya harus tumbuh sebesar 6%-7% setiap tahunnya.
Pertanyaannya, mampukah Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6% di tengah tren pertumbuhan ekonomi dunia yang cenderung melambat? Jawabanya, sangat mungkin. Namun, membutuhkan syarat-syarat yang tidak mudah. Apalagi, syarat-syarat tersebut merupakan penyakit menahun yang sampai saat ini belum teratasi dengan baik, seperti kepastian hukum, birokrasi/kelembagaan yang lincah dan berkualitas baik, serta regulasi yang ringkas dan tidak berbelit-belit.
Hal ini juga sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Aiyar, dkk (2013) dari 138 negara dengan periode 1955-2009 menunjukkan bahwa syarat-syarat itu menjadi hal yang harus terpenuhi dengan baik untuk mencengah perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpendapatan menengah.
Terobosan Kebijakan
Penyakit menahun yang belum teratasi itu juga telah menjadi perhatian besar dari Presiden Jokowi. Bahkan, Jokowi sering geram dengan penyakit menahun ini. Melorotnya daya saing Indonesia tahun 2019 dari posisi 45 menjadi 50, tidak dapat dilepaskan dari kontribusi tidak adanya perkembangan yang progresif dari penyakit menahun ini.
Tidak diliriknya Indonesia oleh investor global yang melakukan relokasi basis produksinya dari China akibat dampak perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) juga tidak dapat dilepaskan dari kontribusi penyakit menahun ini.
Itulah sebabnya, sepanjang periode kedua pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf akan fokus untuk ‘memerangi’ dan menerobos penyakit menahun ini. Lima fokus kebijakan dalam lima tahun ke depan, yaitu (i) membangun kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM); (ii) melanjutkan pembangunan infrastruktur; (iii) memangkas regulasi-regulasi yang menghambat dengan melahirkan UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui kebijakan omnibus law; (iv) merampingkan birokrasi yang panjang dan berbelit-belit; (v) melanjutkan dan mendorong transformasi ekonomi.
Sesungguhnya, kelima fokus kerja pemerintahan Jokowi ini bukan hal baru. Dalam literatur Middle Income Trap (MIT), ada tiga hal yang harus dilakukan untuk dapat lepas dari jebakan negara berpendapatan tetap, yaitu memperkuat sektor pendidikan dan kelembagaan, meningkatkan kualitas produk-produk ekspor melalui keutungan komparatif, dan meningkatkan kualitas dan kapasitas industri melalui intervesi pemerintah.
Terobasan-terobosan baru harus terus dicari dan dilakukan agar Indonesia mampu keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan menjadi negara kaya sebelum tahun 2045. Hal ini penting, karena pada tahun 2037, Indonesia akan memasuki fase menua. Sehingga, jika sampai tahun 2037, Indonesia tidak menjadi negara kaya, berarti Indonesia telah terlanjur tua, sebelum kaya.
Itulah sebabnya, Jokowi selalu berpesan agar birokrasi tidak bekerja secara rutinitas. Lompatan dan terobosan harus dilakukan setiap saat untuk melahirkan inovasi-inovasi baru. Berpikir secara out of the box harus menjadi budaya baru.
Jokowi sangat menangkap esensi ini. Bahkan, Jokowi berani memilih menterinya yang masih sangat muda (milenial) untuk mengomandoi sektor pendidikan yang menjadi fokus utama pemerintahannya lima tahun ke depan.
Presiden berharap banyak kepada menteri mudanya ini agar mampu menerobos kelabat yang sudah menahun di sektor pendidikan untuk melahirkan inovasi-inovasi baru demi melentingkan kualitas SDM Indonesia. Harus diakui bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal. Salah satu indikatornya tecermin dari skor PISA Indonesia yang tertinggal jauh dari negara tetangga. Padahal, tidak ada negara yang perekonomiannya kuat tanpa disokong oleh institusi pendidikan yang kuat dan berkualitas.
Presiden Jokowi telah banyak membuat terobosan-terobosan baru. Semoga para menteri-mentirnya juga dapat melahirkan terobosan-terobosan baru demi Indonesia emas pada tahun 2045. Tidak ada kemewahan untuk bersantai. Hal-hal besar harus dilakukan setiap hari. Seperti kutipan Mahatma Gandhi, masa depan tergantung dari apa yang kita lakukan saat ini.
Kembali