Menuju Suku Bunga Single Digit
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2016 sebesar 5,3%. Untuk merealisasikan target ini, pemerintah mengarahkan APBN 2016 lebih ekspansif dan produktif. Ini tercermin dari defisit yang dipatok sebesar Rp 273 triliun ( 2,1% dari PDB).
Bukan itu saja, pemerintah memangkas subsidi energi (BBM dan Listrik) secara signifikan, memperbesar porsi belanja infrastruktur, dan meningkatkan porsi transfer daerah dan dana desa, sehingga semakin mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah.
Meskipun begitu, ekspansi belanja pemerintah ini harus tetap didukung oleh investasi sektor swasta (corporate investment). Bagaimana pun, porsi belanja pemerintah hanya sekitar 8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara, investasi sektor swasta mencapai 30% terhadap PDB.
Itulah sebabnya, dalam laporan triwulan-I perekonomian Indonesia yang dirilis oleh Bank Dunia baru-baru ini menyatakan bahwa pencapaian target pertumbuhan ekonomi tahun 2016 sangat tergantung dari peningkatan kapasitas investasi sektor swasta.
Tentu, agar kapasitas investasi sektor swasta ini bisa terwujud sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber pendanaan (funding) dengan bunga dana (cost of fund) yang murah.
Sayangnya, sektor keuangan, khususnya perbankan yang saat ini mendominasi aset keuangan di Indonesia, belum bisa menyediakan sumber pendanaan yang murah. Suku bunga pinjaman perbankan masih relatif tinggi.
Saat ini, suku bunga pinjaman perbankan berada di level 11-13%. Bahkan, suku bunga pinjaman untuk UMKM bisa di atas 20%. Suku bunga yang tinggi ini akan sangat memberatkan, apalagi di tengah daya beli yang belum seutuhnya pulih.
Alhasil, sebagian sektor swasta memanfaatkan sumber pendanaan murah dari luar negeri. Di satu sisi, pinjaman luar negeri ini berdampak positif untuk menggerakkan roda perekonomian.
Namun, di sisi lain, pinjaman luar negeri ini (apalagi tidak dihedging) meningkatkan risiko mismatch dan memicu distabilitas makroekonomi, khususnya nilai tukar, ketika ketidakpastian meningkat. Pinjaman luar negeri menjadi sebuah dilema.
Menekan suku bunga deposito
Itulah sebabnya, pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menaruh perhatian besar agar suku bunga pinjaman ini dapat diturunkan.
Pemerintah menargetkan sampai akhir tahun 2016, suku pinjaman bisa turun di bawah 10% alias single digit rate, seperti suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR). Penuruna suku bunga pinjaman ini diharapkan akan semakin menggairahkan perekonomian.
Perlu diketahui bahwa komponen pembentuk suku bunga pinjaman, terdiri atas tiga komponen, yaitu (i) biaya bunga dana (biaya yang dibayarkan perbankan terhadap dana masyarakat, baik berupa tabungan, giro, dan deposito), (ii) biaya operasional (overhead), dan (iii) marjin keutungan (profit margin).
Dari ketiga pembentuk komponen ini, pemerintah, BI, dan OJK hanya “memaksa” agar komponen pertama dan kedua dapat ditekan dan dioptimalkan. Ada pun, komponen ketiga, tidak dapat dipaksa, karena berpotensi menimbulkan gejolak.
Mengingat komponen terbesar pembentuk suku bunga pinjaman ialah biaya dana, maka pemerintah, BI, dan OJK akan memaksa agar suku bunga deposito dapat dipangkas.
Langkah pemerintah untuk memengaruhi penurunan bunga deposito ialah meminta perbankan BUMN untuk menghilangkan praktik pemberian suku bunga special (special rate) dari dana dari deposan kakap. Besaran special rate ini bisa mencapai 100 bps-200 bps dari suku bunga bunga deposito yang berlaku.
Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, idealnya suku bunga deposito hanya sebesar 1% di atas tingkat inflasi. Artinya, jika inflasi saat ini di level 4,42%, maka suku bunga deposito seharusnya di level 5,42%. Nyatanya, suku bunga deposito bertahan di level 7%-8%.
Sementara, langkah BI memengaruhi penurunan suku bunga deposito ialah dengan memangkas BI Rate. Sepanjang Januari-Maret 2016, BI telah memangkas BI rate sebesar 75 bps menjadi 6,75%.
BI Rate pun masih berpeluang turun ke depannya, mengingat makin longgarnya tekanan inflasi. Penurunan BI Rate akan mendorong penurunan LPS Rate yang selama ini menjadi acuan penentuan suku bunga deposito.
BI pun akan secara bertahap menurunkan suku bunga operasi moneter, agar penurunan suku bunga BI Rate lebih efektif. Bagaimana pun, respon penurunan suku bunga deposito dan kredit masih sangat rendah. Meski BI Rate telah dipangkas sebesar 75 bps, tetapi suku bunga deposito baru turun sekitar 7 bps dan suku bunga kredit turun 4 bps.
Selain melalui jalur suku bunga, BI juga melonggarkan suku bunga Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 100 bps menjadi 6,5% yang telah efektif berlaku pada (16/3). Ini diharapkan akan menjaga ketersediaan likuditas di sistem perbankan.
Sedangkan langkah OJK ialah dengan menetapkan batas atas (capping) suku bunga deposito. Pada Oktober 2014, OJK telah memberlakukan capping suku bunga deposito sebesar 225 bps di atas BI Rate untuk Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III dan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU IV) sebesar 200 bps.
Bukan itu saja, OJK juga akan merilis peraturan yang menurunkan capping suku bunga deposito maksimal 100 bps di atas BI Rate ditambah dengan insentif.
Mendorong Efisiensi
Di samping menekan suku bunga deposito, mendorong efisiensi terhadap biaya operasional juga dapat menekan penurunan suku bunga pinjaman. Harus diakui bahwa tingkat efisiensi perbankan di Indonesia masih relatif rendah. Ini tercermin dari rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) yang saat ini di atas 80%. Jauh di atas BOPO perbankan sekawsan.
Selain melalui BOPO, menurut Stiglitz dan Weiss (1981), indikator spread interest rate dan Net Interest Margin (NIM) juga bisa dipakai untuk menunjukkan tingkat efisiensi perbankan.
Semakin tinggi, makin tidak efisien. Saat ini, NIM perbankan Indonesia di atas 5%. Jauh di atas NIM perbankan sekawasan di level 3-4%.
Untuk itulah, OJK diharapkan dapat terus melahirkan regulasi yang dapat mendorong perbaikan efisiensi perbankan ini. Salah satunya dengan mendorong branchless banking, sehingga diharapkan akan memangkas biaya overhead.
Di samping menekan suku bunga deposito dan efisiensi, otoritas juga perlu untuk terus mendorong pendalaman pasar keuangan, sehingga sektor perbankan tidak terus tergantung pada simpanan masyarakat, tetapi dapat mencari sumber pendanaan baru, misalnya melalui pasar modal.
Pemerintah juga diharapkan dapat meminimalkan terjadinya crowding out effect dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dengan memberikan yield yang wajar. Harus diakui bahwa pemerintah turut memberi andil terhadap resistensi penurunan suku bunga pinjaman selama ini.
Ditulis oleh: Desmon Silitonga-Analis PT. Capital Asset Management.
Artikel ini juga telah dipublikasi di harian KONTAN, Rabu (23/3/2016).
Kembali