Menyikapi Gejolak di Bursa Saham
Tekanan di bursa saham domestik masih terus berlanjut dengan gejolak yang cenderung meningkat. Sehingga, dibutuhkan daya tahan dari para pemodal untuk menghadapinya. Sebenarnya, kondisi seperti ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2018, misalnya, bursa saham domestik juga mengalami tekanan dan gejolak yang cukup tinggi. Durasinya pun cukup panjang, yaitu tujuh bulan. Namun, akhirnya berhasil kembali rebound dan menguat sejak November 2018.
Sebagaimana diketahui, dalam dua pekan di bulan Mei 2019 ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah merosot sekitar 9 persen. Sampai dengan 16 Mei 2019, IHSG telah bertengger di level 5.800-an. Kemerosotan IHSG ini telah memupus kenaikan yang ‘ditabung’ dalam empat bulan terakhir. Bukan itu saja, dalam dua pekan itu, nilai kapitalisasi IHSG telah terpangkas lebih dari Rp 635 triliun.
Anehnya, dibandingkan dengan indeks saham sekawasan, kemerosotan yang dialami oleh IHSG ini yang paling dalam. Bandingkan dengan China turun sebesar 3,9 persen. India turun sebesar 4,2 persen. Filipina turun sebesar 6 persen. Malaysia turun sebesar 2,6 persen. Korea Selatan turun sebesar 6,2 persen. Thailand turun sebesar 3,5 persen.
Sembilan sektor yang membentuk ‘badan’ IHSG terkoreksi. Empat sektor yang mengalami koreksi yang cukup tajam, seperti sektor industri dasar turun sebesar 14 persen. Sektor properti turun sebesar 11,5 persen. Sektor pertambangan turun sebesar 10,5 persen. Sektor keuangan turun sebesar 9,2 persen. Begitu pun dengan saham-saham unggulan juga ikut berguguran.
Di tengah kondisi seperti inilah pemodal sering menjadi gamang. Optimisme bersalin rupa menjadi pesimisme. Ketamakan (greed) berubah menjadi ketakutan (fear). Dan, begitulah mekanisme bursa saham bekerja. Ketika, optimisme dan greed lebih mendominasi, maka dorongan aksi beli (buy) meningkat dan mendorong kenaikan. Sebaliknya, ketika pesimisme dan fear yang lebih dominan, maka tekanan jual (sell) meningkat dan memicu tekanan.
Tekanan jual yang sangat masif cenderung terjadi dalam dua pekan terakhir, khususnya dari investor asing (non residen). Nilainya mencapai Rp 7,9 triliun. Dan, menurut data dari Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI), porsi kepemilikan investor asing di pasar saham sampai dengan April 2019 mencapai 53 persen.
Sejumlah Faktor
Apa yang membuat tekanan dan gejolak di bursa saham domestik masih berlanjut dan kemerosotannya lebih tinggi dibandingkan bursa sekawasan. Tidak ada jawaban yang tunggal. Namun, jika bisa disimpulkan tidak dapat dilepaskan dari kombinasi faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, tentu tidak dapat dilepaskan dari meningkatnya lagi eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Sebagaimana diketahui, faktor perang dagang inilah yang membuat Dana Moneter International (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 menjadi 3,3 persen (yoy) dari sebelumnya 3,7 persen (yoy). Menurut IMF, perang dagang ini menjadi sebuah ketidakpastian yang tidak bisa ditakar, karena menyangkut ‘ego’ dari dua raksasa ekonomi.
Perang dagang ini tidak saja akan memukul kinerja perekonomian AS dan China, tetapi juga akan menekan kinerja perekonomian global secara luas. Bahkan, dikhwatirkan akan diikuti oleh negara lain untuk melindungi kepentingan ekonomi domestiknya. Dampaknya akan membuat sistem perdagangan global lumpuh dan bisa merentet memukul pasar keuangang global.
Sebenarnya, proses negosiasi sempat terjadi sejak awal tahun 2019. Bahkan, para pemodal global berekspektasi perang dagang tidak akan berlanjut. Namun, pemerintah AS tidak puas dengan proses negosiasi tersebut, khususnya terkait klausal tentang transfer teknologi dan pencurian hak cipta. Pemerintah China tidak bisa memenuhinya.
Alhasil, Presiden AS, Donald Trump berang. Dan, pada tanggal 10 Mei 2019, secara resmi, Trump menaikkan tarif terhadap barang-barang China dari 10 persen menjadi 25 persen senilai USD 200 miliar. Bahkan, mengancam akan melakukan kebijakan yang sama terhadap barang-barang China lainnya senilai USD 325 miliar.
Tidak cukup di situ, tekanan makin digencarkan dengan keluarnya maklumat darurat nasional, yaitu yang melarang perusahaan-perusahaan AS menggunakan perangkat telekomunikasi yang dibuat oleh negara-negara yang dianggap bisa menimbulkan risiko keamanan negara. Salah satu sasaran tembak dari maklumat tersebut ialah produk yang dihasilkan oleh Huawei, sebuah perusahaan telekomunikasi yang berasal dari China.
Pemerintah China tidak tinggal diam. Aksi balasan (retaliation) dilakukan. Pemerintah China kembali menaikkan tarif dari 10% menjadi 25% terhadap barang-barang AS senilai USD 60 miliar. Salah satu yang disasar ialah produk-produk pertanian dari AS, seperti gandum dan soybean. Kebijakan ini akan menjadi pukulan bagi popularitas Trump, mengingat pendukungnya merupakan basis di daerah pertanian.
Pemerintah China pun masih memiliki amunisi lainnya untuk melawan China, seperti mengurangi kepemilikannya di obligasi AS. China menjadi salah satu pemegang terbesar obligasi AS. Hingga mendevaluasi nilai tukar Yuan yang dikhwatirkan bisa memicu perang mata uang.
Selain itu, faktor internal juga memengaruhi persepsi pemodal. Salah satu yang menjadi sorotan ialah pemburukan terhadap neraca perdagangan (trade balance) di bulan April yang mencatatkan defisit sebesar USD 2,5 miliar. Selain melampaui konsensus pasar. Defisit ini juga yang paling parah dalam sejarah perdagangan Indonesia. Itulah sebabnya, ketika data neraca dagang ini dirilis (15/5), IHSG tertekan cukup hebat.
Lebarnya defisit perdagangan ini akan memengaruhi pelebaran Defisit Transaksi Berjalan (DTB). Diperkirakan DTB di kuartal II-2019 akan makin melebar. Padahal, pada kuartal I-2019 saja, DTB telah mencapai 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). DTB yang melebar akan membuat rupiah tertekan, seperti yang terjadi pada tahun 2018. Alhasil, rupiah yang cenderung melemah akan menjadi sentimen negatif terhadap pergerakan bursa saham. Kondisi inilah yang terjadi saat ini.
Petunjuk
Di tengah tekanan dan gejolak seperti ini kemana arah IHSG akan berlabuh? Inilah yang akan selalu menjadi pertanyaan banyak pemodal, khususnya pemodal ritel. Tidak mudah untuk menjawabnya. Namun, ada sejumlah petunjuk (clue) yang dapat kita cermati yang membuat musim gugur yang terjadi saat ini tidak akan sehebat dan sepanjang tahun 2018. Pertama, Bank Sentral AS (The Fed) telah mengubah stance kebijakannya dari sebelumnya hawkish menjadi dovish. The Fed juga telah menurunkan dosis normalisasi neracanya untuk menjaga likuiditas di pasar keuangan.
Bahkan, The Fed diperkirakan berpeluang membuka ruang atas penurunan suku bunga kebijakannya (FFR). Situasi saat ini, berbeda dibandingkan tahun 2018, di mana The Fed mengerek naik FFR sampai 100bps yang bursa saham global berguguran.
Kedua, pemerintah China dan AS masih terus membuka ruang bagi proses negosiasi agar perang dagang ini tidak berkepanjangan. Bagaimanapun, jika berlangsung dalam jangka panjang, kenaikan tarif ini bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi AS sekitar 0,1 persen dan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 0,4-0,5 persen.
Apalagi, Trump dan Xi Jinping diperkirakan akan melakukan pertemuan bilateral di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang akan dihelat di Jepang bulan Juni 2019. Diharapkan pertemuan ini bisa memberikan angin segar bagi rebound bursa saham domestik.
Ketiga pertumbuhan ekonomi domestik masih relatif cukup resilience. Pada kuartal I-2019, realisasi pertumbuhan ekonomi di level 5,07 persen (yoy). Apalagi, pemerintah akan terus melakukan langkah-langkah untuk menstimulasi kinerja konsumsi dan investasi untuk memaksimalkan kinerja pertumbuhan ekonomi. Harapannya, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2019 bisa dicapai di level 5,1-5,2 persen, maka diharapkan dapat menjaga ekspektasi terhadap pertumbuhan earning per share dari emiten.
Keempat pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus melakukan langkah-langkah untuk menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya nilai tukar rupiah dan Defisit Transaksi Berjalan (DTB) dan sekaligus mendorong agar pertumbuhan ekonomi dapat dimaksimalkan. Apalagi, Bank Indonesia diperkirakan masih memiliki ruang untuk memangkas suku bunga untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Dengan mencermati berbagai petunjuk tersebut, maka musim gugur di saham saat ini hanya bersifat temporer. Jikapun berlanjut, tidak akan seburuk musim gugur yang terjadi pada tahun 2018. Kesimpulannya, jangan pernah takut untuk berinvestasi di bursa saham sejak dini. Karena, bursa saham menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan akumulasi kekayaan. Selamat berinvestasi dan semoga cuan.
Kembali