My awesome top bar
My awesome top bar

Mewaspadai Arus Dana Keluar

Tren pemulihan ekonomi global terus terjadi, khususnya di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS). Meski begitu, menurut International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, pemulihan ini masih bersifat rapuh (fragile) dan tidak terjadi secara merata.

Itulah sebabnya, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 hanya di level 3,7% atau naik tipis dari perkiraaan tahun 2017 sebesar 3,8%. Bank Dunia juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 hanya di level 2,9% dari tahun 2017 sebesar 2,7%.

Sejumlah ketidakpastian pun masih membalut pemulihan ekonomi ini, seperti arah dari proses rebalancing ekonomi China, kebijakan ekonomi pemerintahan Trump, keluarnya Inggris dari zona euro (Brexit), fluktuasi harga minyak dan komoditas, serta ketegangan di semenanjung Korea.

Risiko juga berpotensi menjalar dari pasar keuangan dan portofolio yang bisa berdampak pada perekonomian secara luas sebagai imbas  dari kebijakan yang dijalankan oleh otoritas moneter di negara maju, khususnya AS.

The Fed, misalnya, akan cenderung mengetatkan kebijakan moneternya melalui penaikan suku bunga acuan (federal funds rate/FFR) lanjutan dan kebijakan normalisasi neraca (balance sheet reduction).

Kebijakan ini dilakukan oleh The Fed, seiring dengan perbaikan indikator makroekonomi, khususnya inflasi dan pasar tenaga kerja yang makin pulih.

Kebijakan The Fed ini akan mengubah konfigurasi aliran likuiditas global. Aliran likuiditas akan cenderung masuk ke AS. Apalagi, pemerintah Trump juga berencana menggunting tarif pajak untuk korporasi dan individu.

Kebijakan dari AS ini berpotensi memicu pembalikan dana dari pasar keuangan dunia, khususnya di kawasan emerging, seperti Indonesia yang selama ini menjadi tempat berbiak dana murah tersebutkarena imbal hasilnya yang menarik. Kondisi inilah yang terjadi akhir-akhir ini, di mana rupiah cenderung melemah.

Mitigasi

Mengingat perekonomian Indonesia merupakan perekonomian yang terbuka dengan sektor keuangan yang cenderung liberal, menyebabkan dana-dana asing bisa bebas keluar. Pembalikan mendadak (sudden reversal) mudah terjadi, ketika terjadi perubahan sentimen dan fundamental. Apalagi, dana asing (non residence) di pasar portofolio, khususnya di Surat Berharga Negara (SBN) cukup besar. Nilainya mencapai Rp 819,37 triliun sampai akhir September 2017.

Nah, biasanya efek dari pembalikan dana ini ialah merusak (destruktif). Namun, jika mitigasinya disiapkan dengan baik, maka tingkat kerusakan ini bisa diminimalisir dan terlokalisasi sehingga tidak menjalar dan memengaruhi perekonomian secara luas.

Salah satu dampak dari pembalikan dana yang paling merusak perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1997/98 alias krismon.

Kala itu, nilai tukar rupiah terjun bebas. Cadangan devisa sebagai the first line of defense terkuras habis, tanpa diikuti  oleh pemulihan rupiah yang signifikan.

Untuk memulihkan krisis ini, pemerintah harus merogoh kocek yang sangat besar. Separuh dari nilai APBN kala itu. Bahkan, ongkos ini terbesar di dunia untuk memulihkan ekonomi dari krisis.

Pengalaman krisis yang dahsyat itulah yang memberikan banyak pelajaran, khususnya dalam upaya menjaga stabilitas dan kehati-hatian di sektor keuangan.

Mengingat sektor keuangan merupakan jantung dari perekonomian, maka otoritas harus selalu mengarahkan agen-agen yang menjalankan untuk selalu hati-hati (prudent) dan dikawal dengan governance yang baik.

Harus diakui, sektor keuangan Indonesia sudah jauh lebih baik dan matang menghadapi setiap gejolak. Setidaknya, hal itu terlihat dari krisis yang datang silih berganti, seperti krisis subprime mortgage (2008), krisis utang eropa (2010), Taper QE oleh The Fed (2013) gagal bayar utang pemerintah Argentina (2014), krisis nilai tukar Rubbel (2014), depresiasi nilai tukar yuan (2015), kejatuhan harga minyak dan komoditas (2016).  Sektor keuangan Indonesia tetap solid dan stabil dan diikuti dengan perekonomian yang tetap tumbuh positif.  

Untuk itulah, pemerintah dan otoritas di sektor keuangan (OJK, BI,LPS) harus terus menjaga koordinasi dan komunikasi yang baik. Apalagi, saat ini telah ada UU No.9 tahun 2016 mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang didukung oleh forusm stabilitas sistem keuangan (FSSK).  

Bukan itu saja, rezim saat ini juga terus berupaya untuk memperbaiki dan memperkokoh struktur perekonomian melalui  berbagai reformasi, baik di sisi fiskal, kelembagaan dan regulasi, dan percepatan pembangunan infrastruktur (keras dan lunak).

Reformasi ini mulai menunjukkan hasil (meski harus terus dikejar), yaitu dengan membaiknya tingkat daya saing, penyematan peringkat layak investasi, dan terjadinya perbaikan atas kinerja indikator makroekonomi.

Tentu, tidak ketinggalan, pemerintah dan otoritas di sektor keuangan tidak mengeluarkan regulasi yang memicu kebingungan dan ketidakpastian.

Kredibilitas regulasi harus selalu dikedepankan agar kepercayaan dapat dirawat. Kepercayaan jadi modal besar untuk mengerem pembalikan dana, kala itu datang. 

Namun, di atas semua itu, pemerintah harus dapat menjamin stabilitas keamanan dan politik. Apalagi, tahun 2018, Indonesia akan memasuki tahun politik. Ini menjadi perhatian pelaku usaha dan investor. 


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya