My awesome top bar
My awesome top bar

Pelemahan Rupiah dan Defisit Transaksi Berjalan

Tekanan dan gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berlangsung sampai saat ini. Berdasarkan nilai tengah Bank Indonesia (JISDOR), posisi rupiah sampai 26 September 2018 berada di level Rp 14.938 per dollar AS. Sebelumnya, pada 5 September 2018, rupiah sempat menyentuh level Rp 15.000 per dollar AS.

Kondisi ini pun membuat sejumlah masyarakat merasa was-was bahwa pelemahan nilai tukar ini bisa memicu krisis seperti yang terjadi pada tahun 1998. Meski hasil riset terbaru dari Nomura Holding, inc menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara di kawasan emerging yang memiliki risiko terkecil untuk mengalami krisis nilai tukar.

Selain itu, kondisi perekonomian, tatanan politik dan keamanan, serta kehidupan sosial saat ini cukup jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada tahun 1998.

Pertama, dari sisi perekonomian yang terlihat jelas perbedaannya. Kita bisa melihat dari kinerja indikator makroekonomi. Pada tahun 1998, kinerja indikator makroekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar -13% (kontraksi), rupiah melemah sebesar 245% terhadap dollar AS, cadangan devisa sebesar $ 23,61 miliar, rasio utang pemerintah sebesar 74,1% terhadap PDB.

Sementara kinerja indikator makroekonomi sampai dengan semester I-2018, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% (yoy), pelemahan rupiah sebesar 8,5% terhadap dollar AS, cadangan devisa $ 118 miliar, rasio utang pemerintah sebesar 29% terhadap PDB.

Kedua kondisi politik dan keamanan. Pada tahun 1998, situasi politik sangat bergejolak. Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah berada di titik nadir. Kondisi keamanan pun tidak terkendali. Kerusuhan pecah di mana-mana. Yang membuat aktivitas ekonomi lumpuh. Indonesia pun ditinggalkan oleh pemilik modal yang membuat perekonomian makin terperosok.

Sebaliknya, kondisi politik dan keamanan tahun 2018 sangat terkendali. Tingkat kepercayaan investor juga masih relatif tinggi yang dapat dilihat dari masih tumbuhnya aliran modal masuk, baik di sektor riil maupun finansial.

Sektor Finansial

Ketiga tingkat kesehatan sektor keuangan, khususnya sektor perbankan masih terjaga. Patut dicatat memburuknya krisis pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan dari buruknya pengelolaan sektor perbankan. Tingkat kehati-hatian sangat diabaikan. Pengawasan sangat lemah.

Sektor perbankan sangat tergantung pada pembiayaan Utang Luar Negeri (ULN) bertenor pendek untuk dipakai sebagai sumber kredit yang digunakan untuk sektor yang tidak likuid, seperti property dan bertenor panjang. Risiko ketidakselaran (mismatch) pun sangat tinggi.

Alhasil, ketika tekanan nilai tukar rupiah dan kontraksi pertumbuhan terjadi, sektor perbankan terjepit. Sektor keuangan lumpuh. Padahal, sektor keuangan lah yang menjadi jantung yang menggerakkan aktivitas perekonomian.

Lumpuhnya kinerja sektor keuangan merembet pada perekonomian. Kinerja perekonomian pun ikut lumpuh. Dan untuk memulihkannya, pemerintah harus merogoh kocek yang besar melalui APBN.  

Sementara, pada tahun 2018, kondisi sektor perbankan relatif sehat. Sampai dengan Juni 2018, rasio kecukupan modal di level 22%, rasio likuditas di level 19,4%, dan rasio kredit macet (NPL) di level 1,2% (net). Bukan itu saja, pertumbuhan ULN sektor perbankan sepanjang tahun 2018 hanya 6,5% dan didominasi oleh ULN bertenor panjang (di atas 1 tahun).

Terjaganya kesehatan perbankan inilah yang turut memberi andil terhadap daya tahan (resiliance) perekonomian Indonesia dalam menghadapi setiap gempuran eksternal yang terjadi sepanjang tahun 2010 sampai saat ini. Perekonomian Indonesia relatif mampu bertahan dan tetap tumbuh meski dibayang-bayangi oleh situasi eksternal yang terus berubah dengan kejutan-kejutan yang sangat cepat.

Defisit Transaksi Berjalan

Meski pengelolaan ekonomi dan sektor keuangan saat ini cukup baik. Namun, sejumlah titik lemah jug masih ditemukan dalam struktur perekonomian Indonesia. Salah satunya ialah Defisit Transaksi Berjalan (DTB).

Negara yang cenderung memiliki DTB, maka biasanya nilai tukarnya juga akan cenderung melemah. Kondisi ini bisa kita lihat di Argentina dan Turki. Pada tahun 2017, DTB Argentina dan Turki masing-masing mencapai 4,8% dan 5,5% dari PDB. Bahkan, pada tahun 2018, kondisinya terus memburuk.

Tidaklah mengherangkan, jika kinerja nilai tukar dua negara ini menjadi yang terburuk di antara kawasan emerging. Bahkan, Argentina telah menjadi pasien Dana Moneter International (IMF), seperti yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1998.

DTB Indonesia sejak tahun 2015-2017 sebenarnya memiliki tren membaik. Namun, memasuki tahun 2018, kondisinya makin memburuk. Bahkan, pada kuartal II-2018 nilainya telah mencapai $ 8 miliar (3,04% dari PDB).

Memburuknya DTB ini tidak dapat dilepaskan dari tingginya pertumbuhan impor yang tidak dapat dikompensasi oleh pertumbuhan ekspor. Salah satu yang berkontribusi pada pemburukan impor tersebut ialah tingginya impor bahan bakar minyak (BBM).

Sebenarnya, pemburukan DTB ini masih bisa dikompensasi, sekiranya transaksi di neraca finanasial dan modal mengalami pertumbuhan yang baik. Namun, situasi saat ini berbeda. Kebijakan pengetatan moneter oleh The Fed dan tekanan perang dagang telah mendorong terjadinya pembalikan arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia. Itulah sebabnya, IHSG menjadi cenderung tertekan dan berfluktuasi dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) terus merangkak naik.

Kebijakan Jangka Panjang

Untuk memitigasi dampak pembalikan modal ini, BI telah melakukan sejumlah langkah, seperti melakukan intervensi kembar di pasar valas dan SBN, mendorong pendalaman pasar keuangan melalui reaktivitasi SBI, meninjau penurunan tingkat bunga swap untuk mendorong pemilik valas, khususnya DHE mau mengonversi valas ke rupiah, dan menaikkan suku bunga kebijakan hingga 125bps.

Sementara untuk mengendalikan pemburukan DTB, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan, yaitu mandatori B-20, menaikkan PPh pasal 22 atas 1.147 barang komoditas, menunda proyek-proyek strategis dengan kandungan impor tinggi dan mendorong penggunaan TKDN, mendorong sektor pariwisata.

Kita patut mengapresiasi langkah pemeritah yang cukup responsif ini. Meski begitu kebijakan ini tidak cukup. Dibutuhkan kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan.

Pertama, pemerintah harus terus mendorong sektor industri, khususnya industri pendukung. Sehingga, ketika industri hilir dipacu, maka akan ada sektor yang memberikan sokongan. Dan tidak harus memperolehnya dengan impor. Pemerintah harus konsisten mendorong dan memperkuat industri dalam negeri.

Kedua mendorong kemampuan sumber daya manusia (SDM). Ini telah menjadi program prioritas pemerintah saat ini. Harapannya bisa dilakukan dengan konsisten. Bagaimana pun, SDM yang memiliki kemampuan dan keterampilan. SDM akan menjadi kunci dalam kemajuan perekonomian dan daya saing bangsa.

Ketiga mempercepat bauran energi dari bahan bakar fosil ke non fosil. Indonesia sangat melimpah dengan gas alam. Seharusnya, sumber energi ini lebih banyak didorong, khususnya untuk transportasi. Dahulu, pemerintah cukup intens mendorong penggunaan converter kit.

Namun, seiring berjalannya waktu, program ini pun hilang tak berbekas. Konsistensi tidak terjadi. Padahal, saat ini harga satu liter gas jauh lebih murah dibandingkan dengan satu liter BBM.

Keempat mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya di pasar modal. Investor domestik harus terus didorong dan diberdayakan perannya. Pemerintah harus berani memberikan insentif agar makin menarik minat investor domestik untuk memperbesar kapasitas investasinya.  

Dengan berkembangnya pembiayaan dari investor domestik ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pembiayaan dari investor asing, khususnya di Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini juga akan turut mendorong dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Masyarakat dilatih untuk berinvestasi sejak dini. Harapannya akan terjadi pergeseran budaya dari konsumsi menjadi investasi.

Dengan makin dalamnya sektor keuangan, maka ketika terjadi tekanan eksternal, rupiah dapat bertahan. Namun, jika kebijakan jangka panjang tidak dilakukan, maka rupiah akan terus bergejolak. Dan patut dicatat, bahwa ke depan, tekanan-tekanan eksternal akan makin kerap bermunculan.


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya