My awesome top bar
My awesome top bar

Perang Dagang dan Nasib Rupiah

Kinerja perekonomian global sepanjang tahun ini akan cenderung meredup. Hal ini dapat dilihat dari proyeksi dari Dana Moneter International (IMF) yang dirilis Juli 2019 lalu yang kembali memangkas pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 menjadi 3,2 persen (yoy) dari sebelumnya 3,3 persen (yoy). Ini merupakan pemangkasan yang ketiga di tahun ini. Langkah yang sama juga dilakukan oleh Bank Dunia yang juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 menjadi 2,6 persen (yoy) dari sebelumnya 2,9 persen (yoy).

Meredupnya proyeksi pertumbuhan ekonomi global ini tidak dapat dilepaskan dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Sampai saat ini belum ada sinyal berakhir, meski telah beberapa kali pertemuan negosiasi dilakukan. Aksi balas terus terjadi. Bahkan, Donald Trump makin agresif menaikkan tarif pada China.

Yang terbaru, pada Jumat (23/8/2019), Donald Trump memberlakukan tarif tambahan sebesar 5% menjadi 30% terhadap produk-produk impor China senilai USD 250 miliar yang berlaku 1 Oktober 2019. Juga dilakukan tarif tambahan sebesar 5% menjadi 15% terhadap produk-produk impor China senilai USD 300 miliar yang berlaku 1 September 2019. Tambahan tarif baru ini sebagai respons atas langkah pemerintah China yang kembali menaikkan tarif terhadap produk impor AS senilai USD 75 miliar.

Aksi saling membalas ini membuat pasar keuangan global kembali tertekan. Jumat (23/8), indeks saham AS (Dow Jones) merosot hampir 3%. Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun anjlok ke level 1,4%. Selisih (spread) dengan obligasi tenor 2 tahun kembali menipis yang membuat alarm krisis kembali berbunyi.

Kejatuhan pasar keuangan AS ini menjalar ke pasar keuangan lainnya, termasuk Indonesia. Pada Senin (26/8), pasar saham Indonesia (IHSG) turun sebesar 0,6%. Pendeknya, volatilitas pasar keuangan global menjadi sangat ditentukan oleh arah dari perang dagang ini.

Terunggul

Meski AS terus melakukan tekanan bertubi-tubi, tetapi China tidak gentar. Perlawanan (retaliation) dilakukan. Salah satu langkah perlawanan yang dilakukan China ialah menghentikan pembelian produk-produk pertanian dari AS, khususnya gandum.

Tindakan China ini membuat Trump berang. Bagaimanapun, petani menjadi basis pendukung Trump pada tahun 2016. Menghentikan pembelian produk-produk pertanian ini diharapkan akan menurunkan popularitas Trump yang akan kembali maju sebagai kandidat utama dari Grand Old Party (GOP) pada pemilihan Presiden AS tahun 2020.

Jika dicermati lebih dalam, perang dagang ini hanyalah puncak gunung es dari apa yang sesungguhnya terjadi. Muara dari semua ini ialah siapa yang terunggul, terbesar, dan terhebat, khususnya dalam perekonomian.

Harus diakui dalam beberapa dekade terakhir, kontribusi perekonomian AS terhadap perekonomian global terus menurun. Sebaliknya, kontribusi  perekonomian China terhadap perekonomian global dalam tren meningkat. China tidak lagi hanya sekadar menghasilkan produk-produk massal murah dan berteknologi rendah. Namun, China telah mampu memproduksi produk-produk inovatif dan berteknologi tinggi dengan harga yang relatif terjangkau.

Ponsel pintar (smartphone) yang diproduksi Huawei menjadi ponsel pintar pertama yang mengadopsi teknologi 5G. China juga makin maju dan berderap dalam penelitian Artificial Intelligent (AI), Robotic, dan rekasaya teknologi. Perguruan tinggi di China juga mampu menduduki peringkat universitas terbaik dunia.

China juga jadi salah satu satu rujukan pengobatan penyakit-penyakit langkah. China telah mampu membuat instumen kesehatan bernama Raman Activated Cell Sorting and Sequensing (RACS-SEQ) untuk sekuensing dan sorting sel. China juga mampu membuat pesawat tempur siluman bertekologi tinggi, yaitu J-31 untuk mengimbangi pesawat tempur siluman AS, F-35 Raptor.

Perusahaan-perusahan China juga makin banyak yang menduduki peringkat terbaik di Majalah Forbes. Demikian juga makin orang kaya China yang bermunculan dan masuk dalam jajaran orang terkaya dunia. Pada tahun 2019, jumlah orang kaya China mencapai 324 orang. Hasil ini melompat jauh dari tahun 2010 sebanyak 64 orang.

Kemajuan China yang begitu pesat dalam berbagai bidang ini, tentu mengancam posisi AS sebagai kekuatan ekonomi utama di dunia. Posisi AS rentan digeser China, sebagaimana China menggeser Jepang dari posisi kedua ekonomi terbesar dunia tahun 2011. Itulah sebabnya, langkah China ini harus dihentikan/diperlambat. Salah satunya melalui tekanan perdagangan.

Meski begitu, China bukanlah negara lemah. Apalagi, dalam sejarahnya, China berkali-kali mengalami tekanan dan kesusahan. China pernah mengalami kelaparan terburuk dalam sejarah tahun 1958-1962 di era Mao Zedong. China juga pernah diinvasi oleh Jepang, hingga memicu terjadinya tragedi Nangking, 1937. Kesusahan ini tentu membuat China banyak belajar untuk menjadi bangsa bermental pejuang. Itulah sebabnya, China tidak gentar menghadapi tekanan AS. 

Harus diakui, perang dagang ini akan membuat AS dan China menderita. Setidaknya, ini dapat dilihat dari melambatnya pertumbuhan ekonomi dua negara. Pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi AS merosot menjadi 2,1% (yoy) dari kuartal I-2019 sebesar 3,1%. Pertumbuhan ekonomi China di kuartal II-2019 merosot menjadi 6,2% (yoy) dari kuartal I-2019 sebesar 6,4% (yoy).

Meski begitu, China telah bersiap menerima, sekiranya pertumbuhan ekonominya melambat lebih cepat. Itulah sebabnya, sejumlah kebijakan telah disiapkan oleh China, khususnya dalam menjaga vitalitas konsumsi domestik. Kelas menengah China akan menjadi pilar utama yang akan menggerakan mesin pertumbuhan ekonomi China. Kombinasi kebijakan fiskal, moneter, dan perdagangan dilakukan.   

Perang Mata Uang

Di samping itu, China juga telah mempersiapkan ‘amunisi’ lain untuk melawan tekanan kenaikan tarif. Salah satunya dengan kebijakan devaluasi nilai tukar Yuan. Sejak Juni 2019, tren pelemahan Yuan telah terjadi. Bahkan, ketika Trump kembali menaikkan tarif tambahan pada, Jumat (23/8), nilai tukar Yuan melemah cukup dalam hingga menembus level 7,15 per dolar AS. Ini merupakan level terlemah dalam satu dekade terakhir.

Melalui kebijakan devaluasi ini diharapkan akan membuat produk-produk China tetap kompetitif, sehingga dapat mengompensasi tambahan kenaikan tarif. Memang mendevaluasi yuan lebih dalam menyimpan risiko, yaitu akan mendorong terjadinya pelarian arus modal yang ini juga berisiko terhadap perekonomian China. Hal seperti ini pernah terjadi pada tahun 2015, ketika yuan tiba-tiba melemah. Bank Sentral China (PoBC) harus menghabiskan cadangan devisa sekitar USD 1 triliun untuk menstabilkan yuan.

Namun, jika Trump terus melakukan tekanan, maka risiko ini akan diambil China. Artinya, potensi yuan untuk melemah lebih dalam sangat terbuka. Masalahnya, langkah devaluasi yang dilakukan oleh China ini bisa ditiru oleh negara-negara lain, khususnya yang ekspornya ekspornya besar untuk mencegah kehilangan daya saing.  

Sebenarnya, Trump juga mengingikan nilai tukar dolar sedikit melemah. Sehingga, membuat tekanan pada China makin besar. Itulah sebabnya, Trump terus menekan Bank Sentral AS (The Fed) agar makin agresif menurunkan suku bunga kebijakannya (FFR). Bahkan, Trump menuding The Fed telah membuat ekonomi AS dalam bahaya. Namun, Jerome Powell sebagai komandan The Fed belum mau tunduk pada tekanan Trump. Sejauh ini, The Fed hanya memangkas FFR sebesar 25bps menjadi 2,25%. Pemangkasan lanjutan berpeluang terjadi di September 2019. Perkiraan dari konsensus Bloomberg, FFR akan dipangkas sebesar 50bps.  

Nasib Rupiah

Dalam situasi inilah nasib rupiah akan ditentukan. Meski sepanjang tahun ini, rupiah bergerak stabil dengan volatilitas yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Namun, jika intesitas perang terus naik, maka  tekanan terhadap rupiah tidak bisa dihindari. Apalagi, pergerakan yuan dan rupiah cukup erat. Ketika, Yuan melemah, maka rupiah pun berpeluang untuk melemah.

Sampai saat ini, fundamental ekonomi domestik masih lemah. Hal ini tecermin dari posisi neraca berjalan yang defisit. Neraca berjalan yang defisit berarti perekonomian Indonesia lebih banyak menghabiskan devisa daripada menghasilkan. Dengan kata lain, perekonomian Indonesia kurang produktif dan berdaya saing.

Komponen ekspor masih tetap didominasi oleh komoditas berdaya saing rendah. Itulah sebabnya, Indonesia kesulitan untuk masuk dalam supply chain global, seperti yang dialami oleh negara lain di kawasan. Untuk menutup defisit neraca berjalan ini, Indonesia harus mengandalkan aliran modal jangka pendek yang masuk ke pasar portofolio, khususnya Surat Berharga Negara (SBN). Pemodal asing sangat agresif memburu SBN, karena imbal hasilnya yang sangat tinggi.

Masalahnya, aliran modal jangka pendek ini sangat rentan dengan sentimen yang dapat memicu pembalikan arus modal. Imbasnya, membuat stabilitas makroekonomi terganggu. Indonesia pun akan kembali dihadapkan pada stabilitas vs pertumbuhan.

Itulah sebabnya, Indonesia harus lebih banyak mendorong investasi yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan ke sektor riil. Namun, ini membutuhkan prasyarat, yaitu kepastian dan kemudahan regulasi dan keandalan birokrasi. Menurut survei bank dunia, dua hal ini menajdi konstrain terbesar terhadap aliran investasi jangka panjang yang masuk ke Indonesia.  

Indonesia belum bisa membereskan hal ini dengan baik dan tuntas, meski pemerintah telah mengeluarkan 16 paket ekonomi. Daya ungkit pertumbuhan belum melenting. Setidaknya, ini tecermin dari pertumbuhan ekonomi yang dalam empat tahun terakhir mendatar di level 5 persen. Oleh sebab itulah, agar daya tahan rupiah makin membaik dalam menghadapi tekanan eksternal, maka percepatan reformasi hukum dan kelembagaan harus segera direaliasikan.

Butuh ketegasan dan kemauan politik yang tinggi untuk merealisasikannya. Keberanian Presiden untuk membubarkan lembaga yang menghambat akselerasi perekonomian harus dibubarkan sangat dinantikan. Jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam reformasi regulasi dan kelembagaan, maka kita akan terus melihat nasib rupiah akan selalu disetir tekanan-tekanan eksternal. Rupiah tidak berdaya untuk menentukan nasibnya sendiri. Inilah tragedi yang menyedihkan itu.   


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya