My awesome top bar
My awesome top bar

Tantangan Pengelolaan Inflasi

Dalam rancangan perubahan APBN 2016, pemerintah memangkas besaran inflasi dari 4,7 persen menjadi 4 persen. Pemangkasan ini sebagai imbas dari rendahnya tekanan inflasi. Realisasi inflasi tahun kalender 2016 (Januari-Maret) hanya sebesar 0,62 persen dengan inflasi tahunan (yoy) sebesar 4,45 persen.

Rendahnya tekanan inflasi ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM (premium dan solar) sebanyak dua kali (Januari dan April), penurunan tarif dasar listrik (TDL), dan penurunan ongkos transportasi.

Inflasi yang rendah dan terkendali akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian. Inflasi rendah akan membuat daya beli (konsumsi) masyarakat, khususnya kalangan bawah tetap dapat terpelihara, sehingga diharapkan dapat menjaga vitalitas pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi, mengingat konsumsi merupakan tulang punggung (backbone) pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan kontribusi sekitar 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Inflasi yang rendah dan terkendali juga akan memperkuat daya saing produk di pasar global. Daya saing dihasilkan dari produktivitas. Namun, agar produktivitas ini berkesinambungan, dibutuhkan inflasi yang rendah dan terkendali. Tidak seperti beberapa negara yang mendorong daya saing produknya dengan jalan memanipulasi nilai tukarnya. 

Bukan itu saja, inflasi rendah dan terkendali akan menjadi jangkar (anchor) bagi otoritas moneter (Bank Indonesia/BI) untuk mengarahkan kebijakan suku bunga acuan.

Terkendalinya inflasi sepanjang kuartal I-2016, membuat BI menerapkan kebijakan relaksasi moneter. Sepanjang Kuartal I-2016, BI telah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali sebesar 75 basis point (bps) dari 7,5 persen menjadi 6,75 persen.

Bahkan, jika inflasi bisa diarahkan ke level sasaran (target), maka peluang BI Rate untuk kembali dipangkas masih tetap terbuka, apalagi hal ini didukung oleh stabilnya nilai tukar rupiah, defisit transaksi berjalan (DTB) yang terkendali, dan meredanya agresivitas Bank Sentral AS (The Fed) untuk menaikkan suku bunga acuannya (federal funds rate).

Degan penurunan BI Rate ini, diharapkan akan mendorong penurunan suku bunga pinjaman perbankan. Alhasil, akan berdampak pada turunnya biaya dana (cost of fund), yang pada muaranya akan makin membuka akses pembiayaan bagi dunia usaha.

Bagaimana pun harus diakui, salah satu hambatan (barrier) yang membuat ekspansi dunia usaha mandek, khususnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah suku bunga pinjaman yang tinggi. Padahal, ekspansi dunia usaha yang dibutuhkan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.

Tantangan

Meskipun kondisi inflasi sejauh ini masih relatif rendah dan terkendali, tetapi hal tersebut belum bisa disimpulkan sebagai sebuah prestasi. Pengelolaan inflasi Indonesia ke depan masih akan sangat menantang dan membutuhkan kerja keras dan strategi untuk menanganinya. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi.

Pertama, belum terjadi perbaikan yang signfiikan terhadap struktur ekonomi Indonesia, khususnya masih terbatasnya kapasitas industri yang berperan sebagai sisi penawaran (supply side). 

Keterbatasan ini akan membuat perekonomian menjadi mudah kepanasan (overheating), ketika pertumbuhan ekonomi dipacu ke level tinggi.

Dampaknya akan membuat keseimbangan eksternal (defisit transaksi berjalan) terganggu yang akhirnya akan menggangu keseimbangan internal, yaitu tekanan pada nilai tukar dan inflasi. Dalam kondisi seperti ini, otoritas moneter akan menaikkan suku bunga dan dampaknya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. 

Solusi untuk mengatasi keterbatasan sisi supply ini ialah dengan meningkatkan investasi. Namun, agar investasi ini masuk dibutuhkan sejumlah syarat, seperti iklim investasi yang kondusif, dukungan infrastruktur, kepastian regulasi, biroraksi yang professional, dan akses pembiayaan yang mudah dan murah.

Sejauh ini, semua syarat ini belum bisa terpenuhi dengan sempurna. Pemerintah telah memiliki 11 seri paket ekonomi dan lanjutannya yang menjadi panduan untuk menyediakan syarat tersebut. Sayangnya, tidak semua seri paket ekonomi tersebut mudah diimplementasikan di lapangan. Masalah koordinasi dan evaluasi sering menjadi hambatan.  

Untuk itulah, sembari menyempurnakan implementasi seluruh paket ekonomi tersebut, pemerintah harus tetap konsisten mempercepat pembangunan infrastruktur yang telah berjalan sejauh ini.

Bagaimana pun, dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago country), ketersedian infrastruktur menjadi sebuah keharusan.

Kehadiran infrastruktur akan menciptakan keterhubungan (konektivitas), sehingga membuat biaya distribusi (transportasi) dan logistik turun. Ini akan berdampak positif terhadap penurunan harga barang. Ketersedian infrastruktur akan membuat gap ketimpangan antara Indonesia bagian barat (Jawa) dengan Indonesia Timur (Papua) makin bisa diperkecil.

Kedua pengendalian harga pangan. Sejauh ini gejolak harga pangan belum bisa teratasi. Hal ini bisa dilihat dari tahun 2015. Meskipun, inflasi relatif rendah dan harga komoditas pangan di berbagai negara melandai, tetapi tekanan harga di Indonesia masih tetap terjadi. Sepanjang kuartal I-2016, hal ini pun masih tetap terjadi.

Ironisnya, ketika terjadi panen raya, harga beras tetap tinggi. Artinya, ada sesuatu yang salah. Hal inilah yang harus dipecahkan. Bagaimana pun, pangan merupakan kebutuhan pokok yang ketersediaan dan harganya harus bisa dijangkau semua lapisan.

Ketiga harga energi. Harga minyak dunia yang rendah menjadi blessing in disguise pada perekonomian Indonesia saat ini. Pemerintah bisa mengurangi subisidi BBM secara signifikan, tanpa menimbulkan gejolak inflasi yang signifikan.

Masalahnya, bagaimana nantinya saat harga minyak dunia kembali rebound. Ini menjadi persoalan. Harus diakui, BBM memberikan cukup efektif memicu inflasi tinggi.

Becermin dari masa lalu, inflasi bisa terkendali, meskipun harga minyak dunia tinggi, tidak dapat dilepaskan dari besarnya alokasi subsidi untuk sektor energi. Subsidi ini menggerogoti APBN dan membuat APBN tidak berdaya untuk mendanai sektor-sektor produktif.

Oleh sebab itulah, di tengah momentum harga minyak yang rendah ini dan pemerintah tidak lagi memberikan subsidi yang besar untuk sektor energy, maka harus mempercepat konversi minyak ke gas, pembangunan kota gas, mendorong peningkatan mandatory biofuel, mempercepat produksi dan komersialiasi energi baru dan terbarukan, dan mempercepat ketersediaan sarana dan prasarana transportasi massal.

Tentu dalam jangka pendek, Tim Pemantau Inflasi Daerah (TPDI) harus terus diperkuat dan ditingkatkan kualitasnya. Bagaimana pun, karena permasalahan inflasi sebagian besar dipengaruhi oleh sisi penawaran, sehingga koordinasi dan kerjasama yang baik antarberbagai lembaga di pusat dan daerah menjadi penting untuk mengendalikan inflasi.

 

Ditulis oleh: Desmon Silitonga-Analis PT. Capital Asset Management


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya