My awesome top bar
My awesome top bar

Menanti Gebrakan APBN 2016

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen yang dimiliki pemerintah untuk memengaruhi siklus perekonomian. Menurut Musgrave (1989), APBN memainkan peran dalam tiga hal, yaitu alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Keberhasilan Indonesia melewati tekanankrisis keuangan global tahun 2008 dan bisa tumbuh positif tahun 2009, di saat seluruh kawasan global mengalami kontraksi, tidak dapat dilepaskan dari kemampuan pemerintah saat itu memainkan peran APBN, khususnya dalam memegaruhi daya beli (konsumsi) agar tetap tumbuh. Bagaimanapun, konsumsi yang merupakan mesin utama (main engine) pertumbuhan harus tetap berkinerja baik, apalagi ketika krisis terjadi.

Itulah sebabnya, peran APBN 2016 sangat dinantikan gebrakannya, khususnya dalam memitigasi dampak ketidakpastian eksternal dan sekaligus menstimulasi mesin pertumbuhan. Harus diakui tekanan yang terjadi pada mesin pertumbuhan sepanjang tahun ini, tidak dapat dilepaskan dari tidak maksimalnya peran APBN.

Postur APBN 2016

Asumsi dasar makro ekonomi di APBN 2016, yaitu pertumbuhan ekonomi di level 5,3%, inflasi di level 4,7%, SPN 3 bulan di level 5,5%, nilai tukar rupiah di level Rp 13900/dollar AS, ICP di level $ 50/barrel, lifting minyak bumi sebesar 830 ribu barrel per hari (bph), dan lifting gas sebesar 1155 ribu barel setara minyak per hari.

Ada pun, postur APBN ialah total penerimaan sebesar Rp 1820,5 triliun (naik 3,34% dari APBN-P 2015). Penerimaan ini akan diperoleh dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1546,66 triliun (naik sebesar 3,86% dari APBN-P 2015) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 124,9 triliun (turun sebesar 54% dari APBN-P 2015).

Sementara total belanja mencapai Rp 2095,72 triliun (naik sebesar 5,63% dari APBN-P 2015). Belanja ini akan dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1325,55 triliun (naik sebesar 0,45% dari APBN-P 2015) dan alokasi dana transfer daerah dan desa sebesar Rp 770,17 (naik sebesar 15,88% dari APBN-P 2015)

Dengan postur seperti ini, maka APBN 2016 masih akan mengalami defisit neraca primer (jumlah belanja lebih besar dari penerimaan di luar pembayaran utang) sebesar Rp 88,24 triliun. Nilai defisit ini naik dari APBN-P 2015 sebesar Rp 66,8 triliun. Tren ini sudah terjadi sejak tahun 2012. Salah satu penyebabnya ialah masih terjadinya pemborosan pada belanja birokrasi dan barang.

Sehingga, dengan desain seperti ini, maka defisit sekunder menjadi  Rp 273,18 triliun (2,15% dari PDB) atau naik dari APBN-P 2015 sebesar Rp 225,1 triliun (1,9% dari PDB). Dibutuhkan pembiayaan sebesar Rp 273,18 triliun untuk menutup defisit ini. Dengan kata lain, pemerintah masih belum bisa lepas dari tekanan utang. Dan sampai September 2015, total nilai outstanding utang pemerintah mencapai Rp 3091 triliun (24,7% dari PDB).

Perubahan

Jika dicermati lebih jauh, ada beberapa perubahan yang terjadi dalam APBN 2016 ini dibandingkan dengan APBN sebelumnya. Pertama, meningkatnya alokasi untuk belanja infrastruktur menjadi Rp 303,3 triliun atau naik 8,3% dari APBN-P 2015 sebesar Rp 280 triliun.

Meski belum belanja bisa mencapai di atas 5% dari PDB, seperti beberapa negara lain di Asia. Namun, hal ini patut diapresiasi. Ini memberi sinyal bahwa pemerintah tetap berkomitmen untuk untuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur.

Harus diakui buruknya kondisi infrastruktur menjadi salah satu faktor yang membuat rendahnya daya saing ekonomi domestik. Ini tercermin dari indeks daya saing global yang dirilis World Economic Forum (WEF) 2015-2016 yang menempatkanyang Indonesia di posisi 37 atau turun 3 tangga dari tahun 2014-2015. Peringkat Indonesia masih tertinggal dari Singapura (2), Malaysia (18), Tiongkok (28), dan Thailand (32).

Oleh sebab itu, dengan alokasi belanja infrastruktur yang besar ini, pemerintah harus memastikan dan ini terserap dengan maksimal. Masalah penyerapan ini membuat pembangunan infrstruktur sulit untuk diakselerasi.

Kedua naiknya alokasi dana transfer daerah dan desa yang mencapai 770,17 triliun. Dan baru tahun ini, alokasi dana untuk daerah di atas belanja kementerian dan lembaga.

Ini merupakan bentuk komitmen Nawa Cita pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI.

Meskipun begitu, pemerintah harus memastikan bahwa dana yang besar dapat  terdeliver dengan baik. Harus diakui bahwa hanya sebagian kecil daerah/desa yang dapat memaksimalkan alokasi anggaran ini untuk membangun sektor produktif yang dapat memberikan multiflier effect pada perekonomian daerah.

Sebaliknya, dana besar ini lebih banyak diparkir di perbankan daerah (BPD) untuk mengharapkan keutungan dari bunga. Sampai September 2015, dana daerah yang menganggur di bank daerah mencapai Rp 290 triliun. Untuk itulah, mekanisme reward & punishment harus konsisten dijalankan agar kondisi seperti ini semakin bisa diminimalkan.

Ketiga terpangkasnya alokasi yang cukup signifikan untuk subsidi energi menjadi Rp 102,08 triliun dari Rp 137,82 triliun. Penurunan nilai subsidi yang cukup signifikan ini tidak lepas dari berkurangnya subsidi untuk listrik dari Rp 73,15 triliun menjadi Rp 38,38 triliun.

Sebagaimana diketahui, untuk tahun 2016, PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan untuk mencabut subsidi terhadap 20 juta pelanggan rumah tangga golongan daya 450 VA dan 900 VA.

Pencabutan subsidi ini di satu sisi akan mengurangi beban APBN dan PLN dapat mendorong profitabilitas, sehingga dapat dialokasikan untuk investasi pembangunan pembangkit (power plant), sehingga dapat mengejar pertumbuhan permintaan yang terus meningkat tiap tahunnya.

Namun, di sisi lain, pencabutan subsidi akan menambah beban ekonomi masyarakat,  apalagi golongan 450 VA dan 900 merupakan golongan masyarakat menengah bawah. Penghilangan subsidi akan menekan daya beli. Padahal, tahun ini saja, kemampuan daya beli masyarakat cenderung tergerus, sebagai dampak dari penghapusan subsidi bensin dan tekanan harga kebutuhan bahan pangan.

Itulah sebabnya, pemerintah harus cermat mengukur dampak dari pencabutan subsidi listrik ini. Meskipun, pemerintah saat ini mengarahkan APBN agar lebih produktif, tetapi kondisi jangka pendek (konsumsi) jangan sampai terabaikan. Bagaimanapun, saat ini konsumsi masih sebagai pilar pertumbuhan. Tentu, indikator keberhasilan pemerintah dalam memainkan peranan APBN terlihat dari apakah kesejahteraan masyarakat mengalami perbaikan atau malah sebaliknya.

 Ditulis oleh: Desmon Silitonga-Analis PT. Capital Asset Management


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya