My awesome top bar
My awesome top bar

Sumber Baru Pertumbuhan Ekonomi

Pada 20 Oktober 2017, tepat tiga tahun Joko Widodo-Jusuf Kalla menjalankan roda pemerintahan. Berbagai perbaikan dilakukan di berbagai lini dan sebagian mulai menampakkan hasil. Sejumlah lembaga survei pun secara berkala melakukan jajak pendapat untuk menangkap sejauh mana tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Hasilnya, tingkat kepuasan itu masih cenderung tinggi.

Salah satu yang mendapat penilaian cukup positif ialah sektor ekonomi Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari usaha pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah (Indonesia Setris). Saat ini, ada 245 proyek strategis pemerintah senilai Rp 4.197 triliun yang telah (akan) dikerjakan hingga tahun 2019.

Pemerintah menyadari bahwa tanpa kehadiran infarastruktur, maka daya saing dan pemerataan ekonomi akan sulit diciptakan. Apalagi, dengan realitas bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang membutuhkan keandalan infrastruktur untuk menopang aktivitas perekonomian. Bagaimana mungkin, hasil pertumbuhan ekonomi bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat, jika infrastruktur tidak tersedia dengan baik.

Mengingat besarnya investasi yang dibutuhkan untuk menghadirkan infrastruktur, maka terobosan fiskal ditempuh, yaitu dengan mereorientasi belanja APBN dari yang tidak produktif, seperti subsidi energi menjadi belanja yang lebih produktif, seperti infrastruktur. Momentum dari rendahnya harga minyak dunia jadi bleesing in disguise bagi pemerintah, sehingga pencabutan susidi energi tak memicu inflasi yang persisten.

Itulah sebabnya, dalam tiga tahun terakhir, alokasi belanja infrastruktur mengalami lompatan yang cukup signifikan. Bukan itu saja, pemerintah juga konsisten memperbesar kue ekonomi daerah melalui alokasi transfer daerah dan dana desa. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, alokasi dana desa naik signifikan. Dana desa ini diharapkan dapat menggerakkan roda perekonomian perdesaan yang harapannya dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan kesenjangan yang selama ini jadi masalah klasik desa.   

Selain melalui jalur fiskal, terobosan lain juga dilakukan melalui kehadiran paket-paket ekonomi dan hukum. Sampai saat ini, 16 paket ekonomi telah dilahirkan. Hasilnya mulai terlihat, meski efektivitas dan implementasinya di lapangan masih butuh perbaikan dan penyesuaian, khususnya dalam masalah kepastian.

Kehadiran paket ini diharapkan akan merangsang masuknya aliran investasi. Bagaimana pun, investasi merupakan kunci dalam mendorong produktivitas, daya beli, dan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Indonesia membutuhkan investasi yang besar dari luar sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Apalagi, dengan realitas rendahnya kapasitas tabungan domestic untuk membiayai investasi (saving investment gap).

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, nilai investasi langsung (direct investment) mengalami pertumbuhan yang positif, yaitu Rp 463 triliun (2014), Rp 545 triliun (2015), Rp 613 triliun (2016), dan Rp 336,7 triliun (semester I-2017). Dengan kata lain, Indonesia masih jadi salah tujuan investasi yang menarik.

Semua terobosan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah juga mendapat apresiasi dari dunia international. Pada Mei 2017, misalnya, lembaga pemeringkat International S&P Ratings mengganjar Indonesia dengan peringkat layak investasi. Peringkat ini bisa dimanfaatkan jadi “marketing tool” untuk menarik dana global. Momentum ini harus dimanfaatkan dengan baik.

Bagaimana pun, kompetisi untuk memperebutkan dana global cukup ketat. Apalagi, di tengah kondisi ekonomi dunia yang masih rapuh dan mengandung ketidakpastian (IMF, Oktober 2017). Tentu, hanya negara yang bisa menyediakan kemudahan dan daya tarik yang akan disinggahi oleh dana global ini.

Selain itu, indeks daya saing Indonesia juga secara perlahan terus mengalami perbaikan. Berdasarkan laporan World Economic Forum (28/9/2017), Indeks daya saing Indonesia tahun 2017-2018 berada di posisi 36 atau naik 5 level dari tahun 2016.

Kenaikan peringkat ini, salah satunya didorong oleh masifnya pembangunan infrastruktur. Meski membaik, tetapi peringkat ini masih perlu diperbaikai. Bagaimana pun, Indonesia masih tertinggal dari Malaysia (23), Singapura (3), dan Thailand (32).

Terobosan yang dilakukan pemerintah juga berimbas pada perbaikan indikator makroekonomi. Hal ini tecermin dari inflasi yang rendah dan stabil, nilai tukar rupiah yang menguat dan stabil dengan tingkat volatilitas yang terus turun, cadangan devisa yang meningkat, surplus neraca perdagangan yang makin membaik, defisit neraca pembayaran yang makin sehat, dan stabilitas sektor keuangan yang terjaga dengan baik. Terjaganya stabilitas makroekonomi ini juga jadi inspirasi bagi Bank Indonesia dalam melakukan penyesuaian kebijakan moneter guna mendukung pertumbuhan ekonomi.

Era Disruption

Meski berbagai terobosan di sektor ekonomi telah dilakukan pemerintah dan mendapat apresiasi dari masyarakat dan dunia international, tetapi mendeknya pertumbuhan ekonomi dalam tiga tahun terakhir di level 5% menjadi hal yang banyak disorot dan dikeluhkan. Meski jadi yang tertinggi, khususnya di kelompok G-20, tetapi dengan pertumbuhan sebesar itu, belum cukup untuk menciptakan  lapangan kerja dalam jumlah besar.

Apalagi, di tengah kenyataan, makin redupnya peran sektor manufaktur dan pertanian yang notabene selama ini jadi penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Itulah sebabnya, jika pemerintah ‘gagal’ menggenjot pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, maka upaya untuk mereduksi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan makin terjal. Bukan itu saja, momentum dari bonus demografi yang sedang terjadi saat ini bisa terlewat.

Pemerintah juga akan dituding gagal mensejahterakan rakyatnya. Dan, ini bisa jadi isu akan ‘digoreng’ oleh lawan politik untuk menurunkan elektabilitas pemerintah. Apalagi, tahun politik makin mendekat. Itulah sebabnya, agar pemerintah tidak dituding hanya berambisi memacu pembangunan infrastruktur dan melupakan ‘perut’ masyarakat, maka pemerintah harus bisa mempercepat perbaikan sektor-sektor yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, khususnya sektor manufaktur dan pertanian.

Bukan itu aja, diversifikasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru harus terus dimaksimalkan. Jika selama ini didominasi oleh sektor pertambangan dan energi  (tren sektor ini terus turun imbas dari anjloknya harga komoditas dan lesunya kinerja perdagangan global), maka secara perlahan harus mulai digeser ke sektor-sektor potensial yang memiliki prospek untuk tumbuh cepat, tapi alpa untuk digarap, seperti kelautan dan maritim, pariwisata dan agrowisata, industri kreatif, industri digital. Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat mengalirkan investasi ke sektor-sektor potensial tersebut.

Bagaimana pun, ke depan, lanskap ekonomi dunia akan terus bergeser. Saat ini, dunia memasuki revolusi industri ke empat (disruption era) yang ditandai oleh masifnya pertumbuhan industri digital yang digerakkan oleh internet kecepatan tinggi dan perangkat gawai pintar. Pendidikan, penelitian, dan pelatihan menjadi syarat untuk dapat beradaptasi di era baru ini. 

Pemerintah harus dapat memanfaatkan peluang di era baru ini bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Di sinilah, kecerdasan dan kejelian Presiden sangat dibutuhkan untuk meramu kebijakan yang tepat. Dan, sepertinya Joko Widodo dapat melakukannya. Semoga. 


Kembali

Kembangkan Skala Finansial Anda

Investasi Sekarang

Jangan biarkan kesempatan berlalu, kami siap membantu anda meraih masa depan yang lebih baik.

Daftarkan diri anda melalui online form kami atau jika anda membutuhkan informasi lebih, biarkan petugas kami yang menghubungi anda.


Form Investasi     Hubungi Saya